Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuhu.
بسمِ
اللهِ الرّحمٰنِ الرّحيمِ
Alhamdulillahi Rabb al’aalamiina. Sungguh hanya
kepada Allah SWT saja kita ucapkan puji dan syukur atas segala ni’mat yang
senantiasa Allah limpahkan kepada kita semua. Salawat dan salam kepada tauladan
yang mulia, Nabi dan Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam (SAW)
beserta keluarga, para sahabat RA, tabi’in, tabiut tabiahum dan kepada ummat
Islam sepanjang masa dimanapun berada. Semoga kita semua senantiasa istiqamah
menegakkan agama Islam sampai akhir hayat nanti, aamiin yaa Rabb al’aalamiin.
Insyaa Allah pada hari ini kita lanjutkan kembali siirah Rasulullah
SAW dengan episode tahun kesedihan. Dimana pada tahun itu, disamping paman Nabi
SAW, Abu Thalib dan istri Nabi SAW, (Siti) Khadijah Radhiya Allahu ‘Anha (RA)
meninggal dunia, Nabi SAW juga mengalami kesedihan karena dakwah Nabi SAW
kepada banu Tsaqif agar beriman kepada Allah SWT ditolak. Nabi SAW tidak saja
mengalami kesedihan hati tetapi juga mengalami luka-luka karena dilempar batu oleh
orang-orang suruhan bani Tsaqif. Meskipun Nabi SAW bisa saja mendapatkan
bantuan Allah Azza wa Jalla untuk membalas penolakan banu Tsaqif, tetapi Nabi
SAW mendo’akan anak keturunan banu Tsaqif menyembah Allah satu-satunya dan
tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.
Sebelumnya sudah kita sebutkan bahwa Nabi SAW minta
para pemuka banu Tsaqif untuk tidak mengabarkan kunjungan Nabi SAW kepada
mereka. Namun demikian, kepergian Nabi SAW ke Thaif tanpa sepengetahuan para
pemuka Quraisy di Makkah yang bertujuan untuk mendapat pertolongan dari
pembesar-pembesar Thaif, akhirnya terdengar oleh para pemuka kaum musyrikin
Quraisy. Oleh sebab itu, para pemuka kaum musyrikin Quraisy telah memutuskan
dengan suara bulat dalam musyawarah mereka bahwa Nabi SAW tidak diperkenankan
pulang dan berdiam di Makkah, terutama bertetangga dengan kaum Quraisy.
Menurut hukum dan kebiasaan atau tradisi waktu itu
Nabi SAW membutuhkan perlindungan seseorang atau sponshorship untuk masuk
kembali ke Makkah. Nabi mengirim pesan atau utusan kepada Akhnas bin Syariq dari
suku Zuharah dan Suhail bin Amru dari suku Amir agar mereka mau menjadi
sponshor Nabi SAW untuk masuk kembali ke Makkah. Namun, kedua kepala suku
tersebut menolak dengan alasan yang yang dibuat-buat.
Kemudian Nabi SAW mengirim pesan atau utusan kepada Muth'im
bin Adi, kepala suku Naufal agar mau memberikan sponshor untuk Nabi SAW kembali
masuk ke Makkah dengan aman. Alhmadulillah, Muth’im bin Adi menyaanggupi
permintaan Nabi SAW. Muth’im bin Adi juga menginstruksikan ke-empat anaknya
untuk mempersenjatai diri dan bersama anak-anaknya mengawal Nabi SAW kembali ke
Haram (Makkah).
Setelah Nabi SAW memasuki masjid Haram, Muth'im
mempersilahkan Nabi SAW untuk melakukan tawaf. Tawaf adalah ajaran Nabi Ibrahim
AS, dan kaum musyrikin Makkah juga mengetahui bahwa Nabi SAW juga melakukan
tawaf mengelilingi Kaabah. Setelah Nabi SAW melakukan tawaf, Muth’im bin Adi memberikan
pengumuman di depan masjid Haram, "Saya memberikan perlindungan kepada Muhammad
(SAW)." Abu Sufyan bertanya, "Apakah Anda memberinya perlindungan
setelah menerima agamanya?" Muth'im bin Adi menjawab, "Tidak, saya
hanya memberinya perlindungan." Abu Sufyan menyatakan, "Kalau begitu kami
bisa merima Muhammad (SAW) kembali kepada kami." Dengan cara ini, Nabi SAW
menjadi penduduk Makkah lagi. Dengan mendapatkan perlindungan dari Muth’im bin Adi,
maka kaum musyrikin Quraisy tidak leluasa mengganggu Nabi SAW.
Sebelumnya juga sudah kita sebutkan bahwa Muht’im bin
Adi juga berinisiatif untuk meprakarsai pembatalan boikot pada episode
pemboikotan kaum Musyrikin Quraisy kepada Banu Hasyim dan Ummat Islam. Dengan
demikian Nabi SAW telah menerima dua kali kebaikan atau pertolongan dari Muth’im
bin Adi, seorang musyrik Quraisy karena sampai ajalnya Muth’im bin Adi tidak
memeluk agama Islam yang dibawa Nabi SAW. Pada kedua kasus, dengan bantuan atau
jasa Muth’im bin Adi baik secara langsung maupun tidak langsung kepada Nabi SAW
sehingga Nabi SAW bisa kembali ke Makkah.
Jasa-jasa Muth’im bin Adi ini selalu diingat oleh
Rasulullah SAW. Sehingga setelah mengalahkan kaum musyrikin Quraisy dalam Perang
Badr. Beliau SAW bersabda perihal para tawanan perang Badr, “Seandainya Muth’im
bin Adi masih hidup lalu dia berbicara kepadaku untuk pembebasan orang-orang
kafir (yang busuk baunya) ini, maka tentu aku serahkan mereka kepadanya tanpa
tebusan” (HR Shahih Bukhari No. 2906, Sunan Abu Daud No. 2314 dan lain-lain)
Catatan pinggir bahwa pada perang Badr, kaum Muslim
yang dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW telah menawan sekitar tujuh puluhan orang
kaum musyrikin Quraisy. Dari sekian puluh tawanan, hanya dua orang yang dihukum
mati karena ulah mereka sendiri dalam perjalanan dari Badr ke Madinah.
Selebihnya, para tawanan Badr ini dilepaskan semuanya. Ada yang dilepaskan
dengan membayar uang jaminan, ada yang dilepaskan dengan cara barter baik
dengan ilmu (baca tulis) atau dengan saudara/keluarga kaum Muslim di Makkah,
dan ada juga yang dilepaskan tanpa jaminan sama sekali karena miskin setelah
berjanji tidak ikut memusuhi Nabi SAW dan Ummat Islam.
Sebelum kita tutup, para ulama mencoba mengambil
pelajaran dari kisah perjalanan atau dalam beberapa buku siirah ada yang menyebutkan
sebagai hijrah, ada pula yang menyebutkan sebagai kisah sedih atau tragedi dan
ada juga yang menyebutkan sebagai dakwah ke Tha’if. Berikut beberapa pelajaran
yang dapat kita ambil dari kisah perjalanan atau kunjungan Nabi Muhammad SAW ke
Tha’if.
1. Prioritas dakwah Rasulullah
SAW terhadap tokoh kabilah Tsaqif di Thaif kala itu merupakan bukti pentingnya
menyampaikan dakwah kepada para tokoh panutan manusia atau para pemimpin.
2. Rasulullah SAW bersikap
sabar dalam menghadapi perlakuan buruk para penentangnya. Meskipun mendapatkan
perlakuan buruk, Nabi SAW tidak mendoakan kepada Allah agar menurunkan siksa kepada
mereka. Namun sebaliknya, Beliau SAW mendoakan agar mereka mendapatkan hidayah,
dan Allah Azza wa Jalla memperkenankan doa Nabi Muhammad SAW tersebut.
3. Perjumpaan jin dengan
Rasulullah SAW di lembah Nakhlah merupakan bukti, bahwa jin itu ada dan mereka
itu juga mukallaf, yaitu mempunyai tanggung jawab untuk menjalankan perintah
Allah dan menjauhi larangan Allah. Jadi diantara jin juga ada yang beriman dan
ada juga yang kafir kepada Allah SWT.
4. Berimannya bangsa jin dan
seorang budak menunjukkan kepada kita bahwa Allah memberikan hidayah kepada
siapa saja yang dikehendaki Allah sedangkan manusia wajib berusaha. Mungkin
dalam pandangan manusia hasilnya tidak sesuai dengan target dakwah yang ditugaskan
kepada Nabi SAW, tapi itulah yang terbaik menurut Allah Azza wa-Jalla.
5. Dalam kisah rihlah
(perjalanan) Rasulullah SAW ke Thaif dan penderitaan yang Beliau SAW alami
terdapat pelajaran bagi para da’i. Jika Rasulullah SAW saja menanggung derita,
maka begitu juga dengan para da’i. Oleh karena itu, para da’i wajib
mempersiapkan diri, karena dakwah merupakan jalan para Nabi dan orang-orang
shalih. Juga dikarenakan tuntutan hikmah Allah Azza wa-Jalla bahwa din ini
tidak akan dimenangkan kecuali dengan amalan dan usaha keras manusia.
Demikian kita cukupkan sampaikan disini. Insyaa'
Allah minggu depan akan kita lanjut lagi dengan episode lain dari siirah
Rasulullah SAW. Kalau ada yang salah, itu semua berasal dari saya sebagai
makhluk yang tidak luput dari salah, tolong dikoreksi semua kesalahan tersebut.
Saya memohon ampun kepada Allah Azza wa Jalla atas semua kesalahan dan
kekhilafan dalam tulisan ini. Semua yang benar berasal dan milik Allah yang
Maha Mengetahui.
Maha suci Engkau yaa Allah, dan segala puji bagi-Mu.
Saya bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah. Saya bersaksi bahwa Muhammad SAW
adalah utusan Allah. Saya mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu yaa Allah.
Semoga bermamfa'at, wallahu a'lamu bish-shawaabi.
Wassalam