Sabtu, 31 Desember 2016

Perjalanan Israa’ dan Mi’raaj, Bagian ke-3

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuhu.

بسمِ اللهِ الرّحمٰنِ الرّحيمِ

Alhamdulillahi Rabb al’aalamiina. Sungguh hanya kepada Allah SWT saja kita ucapkan puji dan syukur atas segala ni’mat yang senantiasa Allah limpahkan kepada kita semua. Salawat dan salam kepada tauladan yang mulia, Nabi dan Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam (SAW) beserta keluarga, para sahabat RA, tabi’in, tabiut tabiahum dan kepada ummat Islam sepanjang masa dimanapun berada. Semoga kita semua senantiasa istiqamah menegakkan agama Islam sampai akhir hayat nanti, aamiin yaa Rabb al’aalamiin.

Insyaa Allah pada hari ini kita kembali melanjutkan sharing tentang siirah Rasulullah SAW dengan episode Perjalanan Israa’ dan Mi’raaj bagian ke-3. Sebelumnya sudah kita sebutkan bahwa baik kata benda Mi’raaj (مَعْرَاج) = tangga, ladder, stair, elevator atau alat untuk naik ke puncak sesuatu maupun kata kerja ‘araja (عَرَجَ) = naik, ascend or rise, tidak terdapat dalam surat An-Najm ayat 1-18. Penggunaan kata Mi’raaj atau ‘araja adalah berdasarkan beberapa hadits Rasulullah SAW tentang Perjalanan Israa’ dan Mi’raaj yang telah kita sebutkan sebelumnya.

Di dalam hadits riwayat Shahih Bujhari No. 6963, Musnad Ahmad No. 12861 dan lain-lain, Rasulullah SAW berkata, “Saat Rabbiku 'Azza waJalla menaikkanku dalam peristiwa mi'raj (لَمَّا عَرَجَ بِي رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ).” Atau dalam riwayat lain, Anas bin Malik RAU berkata, “Kemudian Jibril membawanya (Nabi Muhammad SAW) naik ke langit dunia (ثُمَّ عَرَجَ بِهِ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا).” Dimana kata ‘araja yang berarti Allah Azza wa-Jalla telah menaikkan Rasulullah SAW ke langit, digunakan untuk menjelaskan peristiwa Mi’raaj atau naiknya Nabi Muhammad SAW ke langit. Berdasarkan hadits-hadits ini para Ulama menyebutkan bahwa yang mengangkat atau menaikkan atau mi’raaj-nya Nabi Muhammad SAW ke langit adalah atas kehendak (kuasa) Allah Azza waJalla, bukan usaha aktivitas Nabi Muhammad SAW sendiri.


Sebelum kita lanjut, mari kita bahas dulu sedikit tentang samaa-a (سماء = langit), jamaknya samaawaat (سماوات = langit-langit). Kata samaa-a atau samaawaat berasal dari kata kerja samawa (سَمَوَ) = dia laki-laki tunggal telah meninggikan, jadi samaa-a atau samaawaat adalah kata benda ditempat yang tinggi (hanya Allah yang mengetahui tingginya). Allah SWT berfirman dalam surat Nuh ayat 15, “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah menciptakan tujuh langit bertingkat-tingkat? (QS 71:15)” Kata sabha samaawaati thibaakan berarti tujuh lapis atau tingkat langit. Dalam surat Al-Baqarah awal ayat 22, Allah SWT berfirman, “Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap (QS 2:22)” Dalam surat Fussilat ayat 12 pertengahan, Allah SWT berfirman, “Dan Kami hiasi langit yang dekat (samaa-a dunyaa) dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. (QS 41:12)” Jadi tujuh langit adalah langit fisik yang berada di atas kita dan langit ke satu (yang dekat) adalah langit dunia (bumi kita).

Jadi Malaikat Jibril AS membawa Nabi SAW naik ke langit dunia (langit pertama). Kemudian Jibril AS mengetuk pintu langit pertama; Malaikat AS penjaga pintu langit pertama bertanya, “Siapakah kamu?” Jibril AS menjawab, “Jibril.” Malaikat AS bertanya kepadanya, “Siapakah yang bersamamu itu?” Jibril AS menjawab, “Muhammad (SAW).” Ditanyakan lagi kepadanya, “Apakah dia telah diutus untuk menemui-Nya?” Jibril AS menjawab, “Dia telah diutus untuk menemui-Nya.” Kemudian pintu langit pertama dibukakan bagi kami. Malaikat AS berkata, “Selamat datang, sebaik-baik orang yang datang telah tiba.”

Hadits ini menunjukkan pada kita bahwa langit ada pintunya. Pintu langit dikunci atau tertutup dan dijaga oleh Malaikat AS penjaga pintu langit. Malaikat penjaga pintu langit mencatat/mendata setiap yang keluar masuk langit. Tidak ada kunci atau kode khusus untuk melewati pintu langit. Karena para Malaikat; Jibril AS dan Malaikat AS penjaga pintu langit sudah mengetahui tugas masing-masing (dan tidak mungkin berbohong) maka pintu langit dibuka setelah mengetahui siapa yang melewat pintu langit. Prosedur (percakapan antara Jibril AS dengan Malaikat AS penjaga pintu langit) berlaku untuk langit ke-satu sampai lapisan atau tingkat ke-7.

Maka pintu langit pertama dibuka dan setelah melewatinya Nabi SAW berjumpa dengan seorang laki-laki berdiri menyambut kedatangan Nabi SAW. Nabi SAW menggambarkan bahwa orang itu tinggi dan besar. Jibril AS berkata, “Ini adalah bapakmu, Adam AS. Berilah salam kepadanya.” Maka Nabi SAW memberi salam kepadanya dan Adam AS membalas salam Nabi SAW lalu dia berkata, “Selamat datang anak yang shalih dan Nabi yang shalih.”

Kemudian Jibril AS membawa Nabi SAW naik ke langit yang kedua. Prosedur yang sama kembali terjadi, Jibril AS mengetuk pintu langit. Lalu dialog antara Malaikat penjaga pintu langit dan Jibril AS. Kemudian pintu langit dibukakan dan Nabi SAW menjumpai team menyambut. Setelah pintu langit kedua dibukakan Nabi SAW bertemu dengan dua orang anak bibi Beliau SAW, yaitu Nabi Yahya AS dan Nabi Isa AS. Jibril AS berkata, “Ini adalah Yahya AS dan Isa AS, berilah salam kepada keduanya.” Maka Nabi SAW memberi salam kepada keduanya dan keduanya membalas salam Nabi SAW lalu keduanya berkata, “Selamat datang saudara yang shalih dan Nabi yang shalih.”

Jadi prosedur yang sama berulang kembali. Di pintu langit ketiga juga begitu, prosedur yang sama dengan team penyambutannya adalah Nabi Yusuf AS. Maka pintu dibuka dan setelah Nabi SAW melewatinya, Beliau SAW berjumpa dengan Yusuf AS. Jibril AS berkata, “Ini adalah Yusuf AS. Berilah salam kepadanya.” Maka Nabi SAW memberi salam kepadanya dan Yusuf AS membalas salam Nabi SAW lalu berkata, “Selamat datang saudara yang shalih dan Nabi yang shalih.” Di dalam hadits riwayat Musnad Ahmad No. 12047 disebutkan bahwa Nabi SAW berkata, “Ternyata dia (Yusuf AS) diberi separuh ketampanan seluruh manusia.”

Di pintu langit ke-empat juga begitu, prosedur yang sama dengan team penyambutannya adalah Nabi Idris AS. Maka pintu dibuka dan setelah Nabi SAW melewatinya, Beliau SAW berjumpa dengan Idris AS. Jibril AS juga melakukan hal yang sama yaitu memperkenalkan Nabi Idris AS. Jibril AS berkata, “Ini adalah Idris AS. Berilah salam kepadanya.” Maka Nabi SAW memberi salam kepadanya dan Idris AS membalas salam Nabi SAW lalu berkata, “Selamat datang saudara yang shalih dan Nabi yang shalih.”

Di pintu langit kelima dan ke-enam Nabi SAW bertemu dengan Harun AS dan Nabi Musa AS berturut-turut. Nabi Harun AS dan Nabi Musa AS mengucapkan salam yang sama dengan yang diucapkan Nabi Idris, Nabi Yusuf AS, Nabi Isa dan Nabi Yahya yaitu, “Selamat datang saudara yang shalih dan Nabi yang shalih.” Ketika Nabi SAW meningalkan Nabi Musa AS, dia terus menangis. Lalu dia ditanya, “Apakah yang menyebabkan kamu menangis?” Musa AS menjawab, “Yaa Rabb, Kamu telah mengutus pemuda ini setelahku, tetapi umatnya lebih banyak memasuki Surga daripada umatku.”

Sedangkan di pintu langit ketujuh Nabi SAW bertemu dengan Nabi Ibrahim AS. Jibril AS berkata, “Ini adalah bapakmu, Ibrahim AS. Berilah salam kepadanya.” Maka Nabi SAW memberi salam kepadanya dan Ibrahim AS membalas salam Nabi SAW lalu dia berkata, “Selamat datang anak yang shalih dan Nabi yang shalih.” Di dalam riwayat hadits Shahih Muslim No. 234, Musnad Ahmad No. 12047 dan lain-lain disebutkan bahwa Nabi SAW bertemu dengan Nabi Ibrahim AS, dia sedang berada dalam keadaan menyandarkan punggungnya di Baitul Makmur, pada setiap harinya tujuh puluh ribu Malaikat AS memasukinya, lalu mereka tidak kembali lagi, yakni setiap hari tujuh puluh ribu Malaikat AS yang masuk adalah pendatang baru. Perlu dicatat bahwa lamanya hari di langit ketujuh ini hanya Allah Azza waJalla yang maha mengetahui.

Sebelum kita tutup, para Ulama mencoba mengambil beberapa pelajaran dari Mi’raaj Nabi Muhammad SAW ke langit kesatu sampai ketujuh ini. Kenapa pada setiap pintu langit Allah Azza waJalla mengirim beberapa Nabi AS untuk menyambut Nabi SAW, kenapa hanya para Nabi tersebut dan kenapa urutannya seperti itu?

1.      Adam AS adalah bapak dari semua umat manusia, sehingga sesuai baginya untuk menyambut Nabi SAW di pintu langit pertama. Dengan melihat Adam AS yang diciptakan Allah, tinggal di Jannah, tapi kemudian harus meninggalkan Jannah untuk sementara waktu tetapi akhirnya kembali ke Jannah, adalah untuk mengingatkan kepada Nabi SAW akan meninggalkan tempat suci Makkah untuk sementara waktu tetapi akan kembali ke Makkah.

2.      Isa AS dan Yahya AS adalah Nabi yang paling dekat zamannya dengan Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana kita ketahui bahwa bangsa Yahudi mencoba membunuh Nabi Isa AS dan Nabi Yahya AS, begitu juga dengan Nabi Muhammad SAW bahwa bangsa Arab akan mencoba membunuh Nabi SAW.

3.      Saudara sekandung sendiri mencoba telah menganiaya atau menyakiti Nabi Yusuf AS, tapi akhirnya mereka bertobat dan menerima Nabi Yusuf AS kembali. Nabi Muhammad SAW pada waktu fathu (penaklukan) kota Makkah juga memaafkan para kerabat Beliau dari kaum Quraisy sebagaimana Yusuf AS memaafkan saudara-saudaranya. Dia (Yusuf) berkata: "Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), dan Dia adalah Maha Penyayang diantara para penyayang". (QS 12:92)

4.      Allah berfirman tentang Nabi Idris AS dalam surat Maryam ayat 57, “Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi. (QS 19:57)” Begitu juga dengan Nabi SAW, Allah SWT berfirman dalam surat Ash-Sharh ayat 4, “Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu.” (QS 94:4)

5.      Nabi Harun AS dihina oleh bangsa Yahudi tetapi kemudian mereka menerimanya kembali. Begitu juga dengan Nabi Muhammad SAW, dihina oleh bangsa Arab tetapi kemudian mereka menerima Nabi SAW kembali.

6.      Nabi Musa AS memiliki ummat terbesar kedua setelah ummat Nabi Muhammad SAW, dan juga mempunyai pengalaman yang mirip dengan pengalaman Nabi SAW. Tetapi Nabi Musa AS memiliki lebih banyak pengalaman karena Nabi Musa berumur lebih panjang dari Nabi SAW.

7.      Nabi Ibrahim AS adalah khalilullah sebagaimana Nabi Muhammad SAW juga khalilullah. Di dalam hadits riwayat Shahih Muslim No. 827 Nabi SAW berkata, “Aku berlepas diri kepada Allah dari mengambil salah seorang dari kalian sebagai kekasih (teman dekat), karena Allah Ta’ala telah menjadikanku sebagai kekasih sebagaimana Dia menjadikan Ibrahim AS sebagai kekasih.”

Demikian kita cukupkan sampaikan disini. Insyaa' Allah minggu depan akan kita lanjut lagi dengan Perjalanan Israa’ dan Mi’raaj Bagian ke-4 dari episode siirah Rasulullah SAW. Kalau ada yang salah, itu semua berasal dari saya sebagai makhluk yang tidak luput dari salah, tolong dikoreksi semua kesalahan tersebut. Saya memohon ampun kepada Allah Azza waJalla atas semua kesalahan dan kekhilafan dalam tulisan ini. Semua yang benar berasal dan milik Allah yang Maha Mengetahui.

Maha suci Engkau yaa Allah, dan segala puji bagi-Mu. Saya bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah. Saya bersaksi bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah. Saya mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu yaa Allah.

Semoga bermamfa'at, wallahu a'lamu bish-shawaabi.


Wassalam

Minggu, 25 Desember 2016

Perjalanan Israa’ dan Mi’raaj, Bagian ke-2

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuhu.

بسمِ اللهِ الرّحمٰنِ الرّحيمِ

Alhamdulillahi Rabb al’aalamiina. Sungguh hanya kepada Allah SWT saja kita ucapkan puji dan syukur atas segala ni’mat yang senantiasa Allah limpahkan kepada kita semua. Salawat dan salam kepada tauladan yang mulia, Nabi dan Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam (SAW) beserta keluarga, para sahabat RA, tabi’in, tabiut tabiahum dan kepada ummat Islam sepanjang masa dimanapun berada. Semoga kita semua senantiasa istiqamah menegakkan agama Islam sampai akhir hayat nanti, aamiin yaa Rabb al’aalamiin.

Insyaa Allah pada hari ini kita kembali melanjutkan sharing tentang siirah Rasulullah SAW dengan episode Perjalanan Israa’ dan Mi’raaj bagian ke-2. Seperti sudah kita sebutkan sebelumnya bahwa tidak ada catatan kronologis tentang Perjalanan Israa’ dan Mi’raaj ini. Meskipun detail Perjalanan Israa’ dan Mi’raaj ini banyak terdapat di dalam hadits (lebih dari 20 hadits), namun tetap tidak ada kronologisnya bahkan saking banyaknya hadits dan berbeda focus maka ada yang berpendapat bahwa Perjalanan Israa’ dan Mi’raaj ini tidak sekali saja. Tentu pendapat seperti ini bertentangan dengan Firman Allah Azza waJalla dalam surat Al-Israa’ ayat ke-1 dimana disebutkan perjalanan tersebut telah terjadi dalam suatu malam (bukan berulang-ulang).

Di dalam hadits syahih Bukhari No. 336, syahih Muslim No. 237 dan lain-lain bahwa Rasulullah SAW berkata, “Saat aku di Makkah atap rumahku terbuka, tiba-tiba datang Malaikat Jibril Alaihis Salam. …” Kemudian di dalam hadits syahih Bukhari No. 2968, syahih Muslim No. 238 dan lain-lain bahwa Rasulullah SAW berkata, “Ketika aku berada di sisi Baitullah - di Al Hathim atau Beliau SAW menyebutkan di Al Hijir - dalam keadaan berbaring, tiba-tiba seseorang datang lalu membelah. …” Dari kedua versi hadits ini dapat kita rekontruksi bahwa Nabi Muhammad SAW sedang berada di Makkah, kemudian Jibril AS datang kerumah Beliau dan membawanya ke Baitullah. Jibril AS membaringkan dan membelah dada Nabi SAW di Al-Hathim atau Hijir Ismail. Sebagaimana sudah kita bahas sebelumnya bahwa Hijir Ismail adalah bagian dari dalam Ka’bah yang dibiarkan terbuka sejak pembangunan kembali oleh kaum Quraisy ketika masa muda Nabi SAW.

Sebelumnya kita sudah pernah bahas bahwa pada masa kanak-kanak Nabi Muhammad SAW juga pernah dibedah dadanya oleh Jibril AS, pada saat itu Jibril AS mengeluarkan hati/jantung (qalbu) Nabi, mencucinya dengan air zam-zam dan membuang gumpalan darah hitam (HR Syahih Muslim No. 236, Musnad Ahmad No. 12048 dan lain-lain). Sedangkan pada saat ini yaitu sebelum Perjalanan Israa’ dan Mi’raaj, di dalam hadits syahih Bukhari No. 2968, syahih Muslim No. 238 dan lain-lain bahwa Jibril AS membelah antara tenggorokan Beliau SAW hingga pangkal lehernya, sampai dadanya dan perutnya. Jibril AS kemudian mencucinya dengan air zam-zam dengan tangannya hingga sampai pada bagian perut, setelah itu didatangkanlah bejana besar dari emas yang di dalamnya ada atau berisi keimanan dan hikmah. Dengannya, Jibril AS mengisi dada dan urat-urat kerongkongan Nabi SAW lalu merapatkannta atau menjahitnya kembali. Jadi Jibril AS mempersiapkan atau memperkuat diri (jasad dan ruh) Nabi SAW untuk kerperluan Perjalanan Israa’ dan Mi’raaj.

Kemudian Nabi SAW diberi seekor hewan tunggangan putih yang lebih kecil dari pada baghal namun lebih besar dibanding keledai bernama Al-Buraq. Buraq merendahkan tubuhnya sehingga Nabi SAW bisa menungganginya. Buraq itu setiap langkahnya sejauh mata memandang, sementara itu Nabi SAW dibawa di atas punggungnya sehingga sampai ke Baitul Maqdis. Kemudian Nabi SAW mengikatnya pada tiang di Masjidil Aqsa sebagaimana yang biasa dilakukan oleh para Nabi AS. Dari sinilah beberapa legenda mulai, yaitu tentang Buraaq yang bersayap tetapi tidak pernah diriwayatkan di dalam hadits manapun.

Catatan bahwa berdasarkan hadits di atas Al-Buraq adalah bianatang fisik dari dunia lain dan telah ditunggangi oleh pengendara lain – para Nabi AS. Hadits ini juga menunjukkan kepada kita bahwa struktur asli Baitul Maqdis telah diperlihatkan kepada Nabi SAW. Karena sebagaimana kita ketahui bahwa struktur asli Baitul Maqdis dibangun oleh Nabi Sulaiman AS kemudian hancur ketika terjadi perang dengan kerajaan Babylonia. Kemudian bangsa Yahudi kembali membangun ditempat yang diperkirakan sama lokasinya, namun hancur kembali ketika perang dengan kerajaan Romawi. Jadi Nabi SAW melihat Baitul Maqdis (Masjidil Aqsa = masjid terjauh) yang asli bukan Masjidil Aqsa seperti yang kita lihat sekarang.

Kemudian Nabi SAW masuk kedalam Masjidil Aqsa dan shalat dua raka’at. Di dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Nabi SAW shalat dua raka'at dan ketika Beliau berbalik, Nabi SAW melihat semua Nabi AS berada belakangnya. Di dalam riwayat lain disebutkan bahwa ketika tiba waktunya untuk Shalat maka Nabi Muhammad SAW menjadi imam dan semua Nabi AS menjadi makmum. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah imam dari semua Nabi AS. Sebagaimana kita ketahui bahwa setiap Nabi AS adalah pemimpin dari umatnya dan Nabi Muhammad SAW memimpin para Nabi AS. Jadi Nabi Muhammad SAW adalah pemimpin dari semua ummat manusia sebagaimana Nabi SAW berkata “Aku adalah penghulu (pemimpin) seluruh manusia pada hari Kiamat.” (HR Syahih Bukhari No. 3092, Syahih Muslim No. 287 dan lain-lain)

Kemudian Nabi SAW mengatakan setelah Beliau selesai, Jibril AS menyajikan dua buah gelas kepada Nabi SAW. Salah satunya berisi susu dan yang lainnya berisi anggur. Perlu kita ingat bahwa pengharaman anggur atau khamar belum ada pada saat Perjalanan Israa’ dan Mi’raaj ini, jadi anggur masih merupakan minuman yang halal. Jibril AS berkata kepada Nabi SAW, “Pilihlah salah satu dari minuman ini untuk Anda dan untuk ummat Anda.” Nabi SAW memilih gelas berisi susu dan Jibril AS berkata, “Anda telah memilih yang alami atau fitrah. Jika Anda memilih anggur, Ummat Anda akan sesat keluar dari fitrah.”

Para ulama menyebutkan bahwa susu adalah minuman asli atau murni dari hewan tanpa mengalami proses pembusukan sedangkan anggur adalah minuman hasil pembusukan atau fermentasi. Allah SWT telah berfirman dalam surat An-Nahal ayat 66 - 67 bahwa “Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum dari pada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya. Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minimuman yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.” (QS 16:66-67)

Jadi susu merupakan minuman yang bersih dan mudah dicerna sedangkan anggur merupakan minuman yang memabukkan meskipun merupakan rezqi yang baik dan belum dilarang atau diharamkan saat itu. Nabi SAW telah memilih gelas yang berisi susu yang murni yang berasal dari proses yang murni dan yang membuat Ummat Nabi Muhammad SAW menjadi murni. Ini berlawan dengan minuman anggur yang rusak, berasal dari yang rusak dan membuat Ummat Nabi Muhammad SAW menjadi rusak. Nabi SAW mengatakan, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah.” (HR Syahih Bukhari No. 1296, Syahih Muslim No. 4803 dan lain-lain)

Sampai sekarang Perjalanan Nabi Muhammad SAW, yaitu Israa’ Nabi Muhammad SAW adalah dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsa (majid atau tempat shalat yang terjauh saat itu) di Baitul Maqdis. Nabi SAW telah mengikatkan Buraq di salah satu tiang di Masjidil Aqsa ini. Perhatikan bahwa Al Buraq masih terikat pada tiangnya, hal ini menunjukkan meskipun Allah SWT bisa saja membuat Buraq tidak lari tetapi Nabi Muhammad SAW tetap berusaha agar Buraq tidak lepas dari tempatnya ketika diperlukan nanti. Karena perjalanan selanjutnya adalah Nabi SAW Mi’raaj ke langit dan setelah/sekembalinya dari langit Nabi SAW akan menggunakan Buraq untuk kembali ke Makkah.

Jadi dari Masjidil Aqsa ini Nabi Muhammad SAW akan Mi’raaj ke langit. Sebelumnya juga sudah kita sebutkan bahwa Nabi SAW telah melihat ayat-ayat Allah yang paling besar ketika Mi’raaj ke langit di dalam surat An-Najam ayat 1-18. Baik kata benda Mi’raaj (مَعْرَاج) = tangga, ladder, stair, elevator atau alat untuk naik ke puncak sesuatu maupun kata kerja ‘araja (عَرَجَ) naik, ascend or rise, tidak terdapat dalam surat An-Najm ayat 1-18. Penggunaan kata Mi’raaj atau ‘araja adalah berdasarkan hadits Rasulullah SAW tentang Perjalanan Israa’ dan Mi’raaj. Insya Allah detail Mi’raaj Nabi SAW ke langit ini terdapat dalam belasan atau puluhan hadits Rasulullah SAW yang akan kita bahas pada Perjalanan Israa’ dan Mi’’raaj bagian ke-3.

Demikian kita cukupkan sampaikan disini. Insyaa' Allah minggu depan akan kita lanjut lagi dengan Perjalanan Israa’ dan Mi’raaj Baggian ke-3 dari episode siirah Rasulullah SAW. Kalau ada yang salah, itu semua berasal dari saya sebagai makhluk yang tidak luput dari salah, tolong dikoreksi semua kesalahan tersebut. Saya memohon ampun kepada Allah Azza wa Jalla atas semua kesalahan dan kekhilafan dalam tulisan ini. Semua yang benar berasal dan milik Allah yang Maha Mengetahui.

Maha suci Engkau yaa Allah, dan segala puji bagi-Mu. Saya bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah. Saya bersaksi bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah. Saya mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu yaa Allah.

Semoga bermamfa'at, wallahu a'lamu bish-shawaabi.


Wassalam

Sabtu, 17 Desember 2016

Perjalanan Israa’ dan Mi’raaj, Bagian ke-1

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuhu.

بسمِ اللهِ الرّحمٰنِ الرّحيمِ

Alhamdulillahi Rabb al’aalamiina. Sungguh hanya kepada Allah SWT saja kita ucapkan puji dan syukur atas segala ni’mat yang senantiasa Allah limpahkan kepada kita semua. Salawat dan salam kepada tauladan yang mulia, Nabi dan Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam (SAW) beserta keluarga, para sahabat RA, tabi’in, tabiut tabiahum dan kepada ummat Islam sepanjang masa dimanapun berada. Semoga kita semua senantiasa istiqamah menegakkan agama Islam sampai akhir hayat nanti, aamiin yaa Rabb al’aalamiin.

Insyaa Allah pada hari ini kita kembali melanjutkan sharing tentang siirah Rasulullah SAW dengan episode Perjalanan Israa’ dan Mi’raaj. Seperti biasa bahwa tidak ada yang mencatat dengan pasti/akurat kapan terjadinya Perjalanan Israa’ dan Mi’raj ini. Mayoritas Ulama menyebutkan terjadinya Perjalanan Israa’ dan Mi’raaj ini setelah tahun kesedihan. Dimana setelah istri tercinta Nabi SAW yaitu Khadijah RA meninggal, paman Nabi SAW yaitu Abu Thalib meninggal, kemudian tragedi Tha’if yang menyakitkan terjadi pada tahun yang sama, semuanya – secara akumulatif telah membuat Nabi SAW mengadu pada Allah Azza wa Jalla dalam do’a yang sangat menyentuh. Para Ulama menyebutkan bahwa Perjalanan Israa’ dan Mi’raaj disamping untuk menerima perintah shalat 5-waktu, juga merupakan hadiah kepada Nabi SAW secara pribadi dari Allah Azza wa Jalla setelah semua kesedihan-kesediahan sebelumnya.


Perjalanan Israa’ dan Mi’raaj ini terdiri dari dua bagian. Pertama adalah bagian Israa’, yaitu perjalanan di malam hari dari Masjidil Haram di kota Makkah ke Masjidil Aqsa di kota Jerussalem. Kedua adalah bagian Mi’raaj, yaitu naiknya Nabi Muhammad SAW ke langit dari kota Jerussalem. Jadi Perjalanan Israa’ dan Mi’raaj ini adalah perjalanan malam dari kota Makkah ke Jerussalem kemudian naik ke langit pulang pergi dalam suatu malam. Perjalanan Israa’ dan Mi’raaj dirujuk dalam dua surat terpisah, yaitu surat Al-Israa’ (17) untuk bagian pertama - Perjalanan Malam Israa’, dan surat An-Najm (53) untuk bagian kedua – Naik ke Langit Mi’raaj.

Sebelum masuk kepada detail perjalanan Israa’ dan Mi’raaj ini, kita lihat dulu definisi masing-masing kata. Secara Bahasa, kata israa’ (إِسْرَاء) = perjalanan malam, adalah kata benda yang berasal dari kata kerja asraa (أَسْرَى) = Dia (Allah) telah memperjalankan. Sedangkan kata Mi’raaj (مِعْرَاج) = tangga, ladder, stair, elevator atau alat untuk naik ke puncak sesuatu. Kata mi’raaj adalah kata benda yang berasal dari kata kerja ‘araja (عَرَجَ) = naik, ascend or rise. Jadi kata Mi’raaj berarti membawa naik ke puncak sesuatu atau langit. Dari sisi Bahasa ini saja dapat kita fahami bahwa Perjalanan Israa’ dan Mi’raaj adalah aktifitas Allah Azza wa Jalla memperjalankan Nabi Muhammad SAW pada suatu malam. Hal ini cocok atau sesuai dengan perngertian secara agama Islam terhadap Perjalanan Israa’ dan Mi’raaj, yaitu Perjalanan dari Makkah ke Jerussalem kemudian naik ke Langit pulang pergi dalam waktu semalam yang dilakukan, diberikan atau diperuntukan oleh Allah Azza wa Jalla kepada Nabi Muhammad SAW.

Mengenai bagian perjalanan malam Israa, Allah Azza wa Jalla berfirman dalam surat Al-Israa’ ayat ke-1 sebagai berikut. “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS 17:1)

Pada ayat di atas, Allah SWT menggunakan kata kerja aktif asraa (أَسْرَى) yang berarti “Dia (Allah) telah memperjalankan”, yaitu kata kerja bentuk lampau atau fi’il madhi dengan pelaku Allah Azza wa Jalla sendiri. Jadi berdasarkan ayat tersebut di atas bahwa Allah Azza wa Jalla telah memperjalankan seorang hamba-NYA di malam hari, yaitu Allah telah memperjalankan Nabi Muhammad SAW pada suatu malam dari Masjidil Haram (Baitullah) di kota Makkah ke Masjidil Aqsa (Baitulmaqdis) di kota Jerussalem yang diberkati untuk diperlihatkan ayat-ayat atau tanda-tanda atau kebesaran atau mukzizat Allah.

Pada ayat di atas, Allah Azza wa Jalla menggunakan kata abdiNya atau hambaNya (عَبْدِهِ) yang berasal dari kata ‘abd (عَبْد) yang berarti ‘abid atau hamba yang paling taat pada Allah. Diantara semua nama panggilan, nama ‘abid adalah nama yang paling terhormat. Dengan memanggil Nabi Muhammad SAW sebagai ‘abid, hal ini merupakan kehormatan tertinggi seseorang dihadapan Allah Azza wa Jalla. Perlu dicatat bahwa seseorang dapat dipanggil 'abid (عبد) hanya jika dengan tubuh dan jiwanya – jasad dan ruhnya. Hanya tubuh atau ruh saja tidak dapat disebut 'abid (عبد). Dengan demikian ayat di atas jelas membuktikan bahwa Nabi Muhammad SAW melakukan Perjalanan Israa’ dan Mi’raaj baik dengan tubuh dan jiwanya. Dari sisi keimanan, meskipun Nabi Muhammad SAW berada sangat dekat dengan Allah Azza wa Jalla, Nabi SAW tetap seorang hamba atau ‘abid – bukan (na’udzubillah) bagian dari Allah.  Jadi dari ayat di atas juga menjelaskan atau menjawab pertanyaan apakah Perjalanan Israa’ dan Mi’raaj Nabi Muihammad SAW terjadi dengan jasad dan ruh atau ruh saja atau terjadi di dalam mimpi.

Secara garis besar, ayat-ayat Allah Azza wa Jalla yang diperlihatkan kepada Nabi Muhammad SAW diantaranya adalah (i) Perjalanan Israa’ dan Mi’raaj sendiri yaitu perjalan yang sangat jauh dan mustahil ditempuh dalam waktu yang sangat singkat (dimensionless dan timeless), (ii) pertemuan Nabi Muhammad SAW dengan para Nabi dan Rasul sebelumnya, (iii) Nabi Muhammad SAW dapat berkomunikasi secara face to face (langsung) dengan beberapa orang Nabi dan Rasul tersebut, (iv) Nabi Muhammad SAW diangkat ke langit dan menyaksikan ayat-ayat atau tanda-tanda yang luar biasa dari Allah dimana tidak ada satu makhlukpun yang pernah mengunjungi, (v) bermunajat atau beraudiensi langsung dengan Allah Azza wa Jalla. Di dalam bagian Mi’raaj yaitu pada surat An-Najam ayat ke 1-18, Allah Azza wa Jalla menyebutkan kembali bahwa Nabi Muhammad SAW telah melihat ayat-ayat Allah yang paling besar.

“Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat. Yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli. Sedang dia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi. Maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan. Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Maka apakah kaum (musyrik Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya? Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.” (QS 53:1-18)

Pada surat An-Najam ini kembali Allah Azza wa Jalla menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW (jasad dan ruh) melihat dengan mata kepala sendiri ayat-ayat Allah seperti Malaikat dalam bentuk aslinya. Bagaimana Nabi Muhammad SAW berada semakin dekat dengan Allah untuk beraudiensi menerima wahyu Allah. Melihat surga Allah. Berada di Sidratul Muntaha dimana tidak ada makhluk yang pernah berkunjung, yaitu suatu tempat yang tidak diketahui oleh selain Allah. Nabi Muhammad SAW (jasad dan ruh) benar-benar telah melihat banyak sekali ayat-ayat Allah dan keajaiban-keajaiban yang begitu besar.

Jadi di dalam ayat kedua surat tersebut yaitu Al-Israa’ dan An-Najam, Allah Azza wa Jalla menggunakan frase atau kalimat yang sama - yang mempunyai makna kurang lebih, “sehingga Allah telah menunjukkan kepadanya (Nabi Muhammad SAW) ayat-ayat atau tanda-tanda kebesaran Allah yang sangat menjakjubkan”. Berdasarkan kedua surat ini, para ulama mengambil kesimpulan bahwa alasan atau tujuan utama perjalanan Israa’ dan Mi'raaj ini adalah untuk Nabi Muhammad SAW seorang saja. Perjalanan Israa’ dan Mi’raaj adalah hadiah dari Allah Azza wa Jalla secara pribadi kepada Nabi Muhammad SAW sendiri. Ini merupakan berkah kepada Nabi SAW setelah melewati ujian di tahun kesedihan. Allah tidaklah membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya, artinya sekadar kesanggupannya. Ia mendapat dari apa yang diusahakannya berupa kebaikan, artinya pahalanya (Tafsir Jalalain dari awal ayat 286 surat Al-Baqarah).

Seperti kisah-kisah lainnya, bahwa Perjalanan Israa’ dan Mi’raaj ini disamping tidak diketahui dengan pasti kapan terjadinya, juga tidak ada yang mencatat secara rinci dan berurutan atau kronologis. Setelah zaman Sahabat yaitu zaman tabi’in dan setelahnya banyak sekali versi Perjalanan Israa’ dan Mi’raaj ini, karena mereka (tabi’in dan tabiut tabiahum) hanya mendegar cerita dan menuliskan berdasarkan yang mereka dengar. Apalagi, sudah menjadi kebiasan umum bahwa setiap cerita semakin panjang rantainya semakin banyak distorsinya baik berupa penambahan maupun pengurangan. Tetapi alhamdulillah, detail dari pokok Perjalanan Israa’ dan Mi’raaj terdapat dalam beberapa buku hadits Rasulullah SAW. Detail Perjalanan Israa’ dan Mi’raaj Nabi Muhammad SAW ini akan kita bahas pada bagian ke-2.

Demikian kita cukupkan sampaikan disini. Insyaa' Allah minggu depan akan kita lanjut lagi dengan Perjalanan Israa’ dan Mi’raaj Baggian ke-2 dari episode siirah Rasulullah SAW. Kalau ada yang salah, itu semua berasal dari saya sebagai makhluk yang tidak luput dari salah, tolong dikoreksi semua kesalahan tersebut. Saya memohon ampun kepada Allah Azza wa Jalla atas semua kesalahan dan kekhilafan dalam tulisan ini. Semua yang benar berasal dan milik Allah yang Maha Mengetahui.

Maha suci Engkau yaa Allah, dan segala puji bagi-Mu. Saya bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah. Saya bersaksi bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah. Saya mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu yaa Allah.

Semoga bermamfa'at, wallahu a'lamu bish-shawaabi.


Wassalam

Sabtu, 03 Desember 2016

Kaum Khawarij Keluar dari Islam

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuhu.

بسمِ اللهِ الرّحمٰنِ الرّحيمِ

Alhamdulillahi Rabb al’aalamiina. Sungguh hanya kepada Allah SWT saja kita ucapkan puji dan syukur atas segala ni’mat yang senantiasa Allah limpahkan kepada kita semua. Salawat dan salam kepada tauladan yang mulia, Nabi dan Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam (SAW) beserta keluarga, para sahabat RA, tabi’in, tabiut tabiahum dan kepada ummat Islam sepanjang masa dimanapun berada. Semoga kita semua senantiasa istiqamah menegakkan agama Islam sampai akhir hayat nanti, aamiin yaa Rabb al’aalamiin.

Insyaa Allah pada hari ini kita selang kembali siirah Rasulullah SAW dengan episode lain yaitu tentang kaum khawarij. Akhir-akhir ini, ummat Islam sering mendengar istilah kaum khawarij. Ada satu aliran – sebut saja aliran-X, menyatakan aliran tertentu – sebut saja aliran-Y adalah khawarij - melesatnya dirimu dari Islam sebagaimana melesatnya anak panah dari busurnya (maksudnya keluar dari Islam). Gara-garanya karena menurut aliran-X bahwa demo yang dilakukan oleh aliran-Y  tersebut haram, karena itu adalah bentuk pemberontakan kepada pemerintahan yang syah. Aliran-X juga menyatakan bahwa demonstrasi (dan demokrasi) sama sekali tidak pernah ada ajarannya di dalam syariat Islam.

Sebelumnya sudah pernah kita bahas bahwa pada masa muda Muhammad SAW, di Makkah pada saat musim haji terjadi peristiwa ketidak adilan yang dilakukan oleh salah seorang pemimpin Quraisy Makkah (Al-'Ash bin Wa'il) terhadap seorang jama’ah haji dari Yaman bernama Zubaid melakukan transaksi perdagangan dengannya.  Pada saat itu tidak ada yang bisa membantu Zubaid karena yang bersengketa dengannya adalah seorang kepala suku Quraisy Makkah, Al-'Ash bin Wa'il. Tidak ada penduduk Makkah yang mau mencampuri urusan kepala suku Quraisy Makkah tersebut. Sehinga Zubaid membuat pengumuman di depan khalayak ramai yang berada di Kaabah sehingga semua orang mengetahuinya. Hal ini membuat para pemuka kaum Quraisy lainnya menjadi malu dan melakukan penekanan terhadap Al-'Ash bin Wa'il yang telah berlaku tidak adil kepada Zubaid.

Peristiwa tersebut terjadi pada saat Muhammad SAW baru berumur sekitar 20 tahunan, 20 tahun sebelum wahyu pertama turun. Muhammad SAW ikut menanda tangani atau membubuhkan cap tangan pada petisi atau perjanjian Hilf Al-Fudhul (pakta para pemimpin) juga disebut Hilf Al-Muthayabiin (pakta celup) yang terjadi pada bulaan haji, Dzul Khaidah. Petisi atau perjanjian ini dibuat untuk membela siapapun pengunjung Makkah yang dianiaya, apapun sukunya, warna kulit dan kedudukannya, dan menghukum orang yang menganiaya, tidak memandang apapun suku atau bangsanya, warna kulit, pangkat atau status sosial lainnya. Tentu saja petisi tersebut ditolak oleh Al-'Ash bin Wa'il, tetapi dia tidak berani berseberangan dengan para pemimpin Quraisy Makkah lainnya.

Meskipun ketika itu syariah Islam belum ada tetapi beberapa puluh tahun kemudian ketika Nabi SAW sudah menguasai seluruh dataran Hijaz yaitu pada fase dakwah tahap ke-4. Yaitu fase dakwah terbuka dan terhormat kepada seluruh ummat Manusia, dimana secara politik dan militer ummat Islam sudah mulai kuat. Nabi Muhammad SAW tidak menyesali telah ikut menanda tangani petisi hilful fudhul atau hiful muthayabin yang nota bene bukan bagian dari syariah Islam atau tidak terjadi setelah wahyu pertama turun. Bahkan Nabi SAW menguatkan atau membenarkan keikut sertaan Beliau tersebut.

Nabi SAW dalam sebuah hadits (HR Musnad Ahmad No. 1567) mengatakan bahwa Beliau ikut menanda tangani peristiwa perjanjian Muthayabin bersama paman-pamanku ketika masih remaja. Bahkan Nabi SAW mengatakan tidak mau melepaskan kesempatan atau membatalkan perjanjian itu walaupun diganti dengan unta merah sekalipun (unta yang paling mahal harganya). Setelah Islam datang, kalau perjajian seperti itu masih ada, tidaklah Islam menjumpai satu perjanjian kecuali Islam akan menguatkannya. Namun tidak ada lagi perjanjian yang seperti itu dalam Islam karena Islam telah menghapusnya perbedaan suku atau bangsa warna kulit atau status sosial kecuali ketaqwaan dan Rasulullah SAW telah menyatukan bangsa-bangsa dalam Islam.

Dari peristiwa Hilf Al-Fudhul atau Muthayabiin ini kita dapat mengambil pelajaran bahwa Nabi SAW secara aktif terlibat dengan masyarakat pada zamannya. Meskipun masyarakat pada saat itu bukan masyarakat Muslim. Dari Hadits tersebut kita tahu bahwa Beliau sangat bangga dengan keterlibatan Beliau. Ini menunjukkan kepada kita bahwa aktif dalam kegiatan kemasyaratan adalah bagian dari menjadi seorang Muslim, bagian dari dakwah Islam secara nyata. Adalah salah besar kalau ummat Islam berpikir bahwa kita harus atau hanya terlibat dalam kegiatan-kegiatan agama Islam saja - kita tidak terlibat dengan pembelaan terhadap rasisme, penindasan, kemiskinan, kekerasan, banjir atau bencana alam dan aktifitas sosial kemasyarakatan lainnya. Kita hanya peduli tentang Suriah, Palestina, Kasmir dan lain lain yang murni Islam. Ini betul sekali dan merupakan amal ibadah yang baik. Tetapi pada saat yang sama kita belajar bahwa Nabi SAW adalah anggota masyarakat yang aktif mendukung atau membela keadilan tanpa memandang agama. Inilah Dakwah bil hal (dengan tindakan) bukan cuman ceramah di atas mimbar saja, masyarakat akan merasakan langsung mamfa'atnya bahwa Islam memang membawa rahmat bagi seluruh isi alam (rahmatan lil'aalamiin).

Di dalam hadits HR musnad Ahmad No. 1649 mengenai hijrah para sahabat ke Habasyah atau Abyssinia atau Ethiopia yang terjadi pada fase dakwah tahap ke-2. Yaitu fase dimana dakwah terbuka dilakukan secara lisan kepada kaum kerabat Beliau SAW mulai dari yang terdekat dan semua penduduk Makkah (QS 15:94-95 dan QS 26:214-216). Nabi SAW malah menyuruh para sahabat untuk hijrah kesana dan menetap disana beberapa belasan tahun. Pada saat hijrah itu Habasyah dipimpin oleh seorang raja yang adil berdasarkan hukum Kristen Trinitas – bukan syariah Islam. Nabi SAW baru memanggil para sahabat di Habasyah untuk pulang ke Madinah dimana pada saat itu Ummat Islam sudah berada pada fase dakwah ke-4.

Dari dua kisah itu saja dapat kita petik beberapa pelajaran bahwa:

  1. Selama tidak melanggar aqidah (tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW), Ummat Islam bisa saja menggunakan cara atau system yang berlaku setempat untuk membela atau mempertahankan aqidah Islam. 
  2. Dakwah yang dilakukan oleh da'i harus tepat pada tempat dan waktu atau sikon yang diperlukan untuk menjawab setiap masalah ummat Islam. 
  3. Kaum muslimin wajib mempersiapkan kader, juru dakwah, diplomat yang mampu memaparkan masalah dengan baik, serta menangkis syubhat musuh-musuh Islam. 
  4. Allah SWT mengkondisikan musuh agama Islam untuk membantu agama-Nya tanpa musuh itu menyadarinya. Maha Benar Allah Yang berfirman dalam surat Al-Anfal ayat 30, "Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya." (QS 8:30)

Di dalam Al-Qur'an, Allah SWT menyebutkan bahwa ummat Nabi Muhammad SAW adalah ummatan wahidah atau ummat yang satu. Jadi ungkapan kesatuan umat (ummatan wahidah) dalam Al-Qur'an merujuk kepada seluruh kesatuan Ummat, Bangsa atau Dunia Islam. Firman Allah SWT dalam Al-Qur'an surat Al-Anbiya, "Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua (ummatan); agama yang satu (wahidah) dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku" (QS 21:92).

Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa keluar dari keta'atan dan memisahkan diri dari Jama'ah kemudian dia mati, maka matinya seperti mati jahiliyah. Barangsiapa terbunuh di bawah bendera kefanatikan, balas dendam karena kefanatikan, dan berperang karena kebangsaan, maka dia tidak termasuk dari ummatku. Dan barangsiapa keluar dari ummatku lalu (menyerang) ummatku dan membunuh orang yang baik maupun yang fajir, dan tidak memperdulikan orang mukminnya serta tidak pernah mengindahkan janji yang telah dibuatnya, maka dia tidak termasuk dari golonganku.” (HR Syahih Muslim No. 3437, Sunan Nasa'i 4045 dan lain lain)

Sebelumnya juga sudah kita bahas bahwa kaum yang pertama kali keluar (kharaja) dari ummat Nabi Muhammad SAW adalah kaum khawarij. Berikutnya sekitar tahun 8 setelah hijrah, setelah Rasulullah SAW menguasai kembali Makkah. Rasulullah SAW diperintahkan untuk menguasai Ta'if setelah beberapa hari menguasai Makkah. Ada yang menyebutkan sebagai perang Hunain, ada juga yang menyebutkan sebagai penaklukan Makkah karena cuman beda beberapa hari saja. Pada saat itu, Nabi SAW baik dari kaum Anshar (Madinah), Muhajirin (Makkah yang Hijrah ke Madinah) maupun mualaf Quraisy dan penduduk Makkah yang baru saja masuk Islam, ikut bersama Nabi SAW berperang. Sebagaimana yang sudah ditaqdirkan oleh Allah SWT bahwa kemenangan besar berada dipihak Rasulullah SAW dan para sahabat mendapat harta rampasan yang sangat besar sekali.

Dalam hadits Syahih Bukhari No. 3341, Sunan Ibnu Majah No. 165 dan lain-lain disebutkan bahwa ketika para sahabat sedang bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang sedang membagi-bagikan pembagian (harta rampasan perang), datang Dzul Khuwaishirah, seorang laki-laki dari Bani Tamim, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, tolong engkau berlaku adil.” Maka Beliau SAW berkata, “Celaka kamu!. Siapa yang bisa berbuat adil kalau aku saja tidak bisa berbuat adil. Sungguh kamu telah mengalami keburukan dan kerugian jika aku tidak berbuat adil.”

Kemudian 'Umar RA berkata, “Wahai Rasulullah, izinkan aku untuk memenggal batang lehernya!” Beliau SAW berkata, “Biarkanlah dia. Karena dia nanti akan memiliki teman-teman yang salah seorang dari kalian memandang remeh shalatnya dibanding shalat mereka, puasanya dibanding puasa mereka. Mereka membaca Al Qur'an namun tidak sampai ke tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama seperti melesatnya anak panah dari target (hewan buruan).”

Bahkan peristiwa ini diingatkan kembali oleh Allah SWT dalam surat At Taubah ayat 58: Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (distribusi) zakat; jika mereka diberi sebahagian dari padanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian dari padanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.

Dalam hadits yang lain Rasulullah SAW pun bersabda, “Dari kelompok orang ini (Dzul Khuwaishirah at Tamimi al Najdi), akan muncul nanti orang-orang yang pandai membaca Al Qur`an tetapi tidak sampai melewati kerongkongan mereka, bahkan mereka membunuh orang-orang Islam, dan membiarkan para penyembah berhala; mereka keluar dari Islam seperti panah yang meluncur dari busurnya. Seandainya aku masih mendapati mereka, akan kumusnahkan mereka seperti musnahnya kaum 'Ad.” (HR Syahih Bukhari No. 2905, Syahih Muslim No. 1761, dan lain lain).

Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah at Tamimi al Najdi yang pemahamannya terhadap Al Qur'an dan Hadits telah keluar (kharaja) dari pemahaman mayoritas kaum muslim (as-sawad al a'zham) sehingga dinamakan kaum khawarij. Kata khawarij adalah bentuk jamak (lebih dari 2) dari kata kharij (bentuk isim faa'il - pelaku) artinya yang keluar. Dari sinilah para ulama menyebut kelompok keturunan atau yang sepaham dengan Dzul Khuwaishirah at Tamimi al Najdi sebagai kaum atau kelompok Khawarij (yang keluar dari Islam).

Jadi berdasarkan hadits di atas, kita ummat Islam (mayoritas) merasa bahwa ibadah kita dibandingkan kaum Khawarij ini tidak ada apa-apanya, remeh atau kecil dibandingkan shalat mereka dan puasa mereka, tetapi mereka membunuh orang-orang Islam dan membiarkan para penyembah berhala - kaum kufar. Sementara orang Munafiq, Nabi SAW menunjukkan tanda-tandanya kepada kita seperti sabda Beliau dalam hadits syahih Bukhari No. 5630, syahih Muslim No. 89 dan lain lain bahwa tanda-tanda orang munafik ada tiga: apabila dia berbicara niscaya dia berbohong, apabila dia berjanji niscaya mengingkari, dan apabila dia dipercaya niscaya dia berkhianat.

Kaum khawarij menuduh Ali RA tidak berhukum dengan hukum Allah – syariat Islam, karena Ali RA berdamai dengan Muawwiyah untuk menghindari terjadinya perang saudara antara ummat Islam. Orang-orang yang menuduh Muslim lainnya sebagai telah berhukum dengan hukum selain hukum Allah – syariat Islam, pada umumnya adalah orang-orang yang memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah sampai kerongkongannya saja – tidak sampai mempengaruhi hatinya. Yakni orang-orang yang membaca Al-Qur’an tapi tetap berakhlak buruk, sombong, mencela, membenci bahkan menyerang atau memerangi kaum Muslim mayoritas baik secara fisik maupun non fisik, seperti menyebut kaum Muslim mayoritas sebagai orang musyrik bahkan kafir, na’udzubillah min dzalik.

Demikian kita cukupkan sampaikan disini. Insyaa' Allah minggu depan akan kita lanjut lagi dengan episode lain dari siirah Rasulullah SAW. Kalau ada yang salah, itu semua berasal dari saya sebagai makhluk yang tidak luput dari salah, tolong dikoreksi semua kesalahan tersebut. Saya memohon ampun kepada Allah Azza wa Jalla atas semua kesalahan dan kekhilafan dalam tulisan ini. Semua yang benar berasal dan milik Allah yang Maha Mengetahui.

Maha suci Engkau yaa Allah, dan segala puji bagi-Mu. Saya bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah. Saya bersaksi bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah. Saya mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu yaa Allah.

Semoga bermamfa'at, wallahu a'lamu bish-shawaabi.

Wassalam

Sabtu, 26 November 2016

Perjalanan Nabi SAW dari Thaif ke Makkah



Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuhu.

بسمِ اللهِ الرّحمٰنِ الرّحيمِ

Alhamdulillahi Rabb al’aalamiina. Sungguh hanya kepada Allah SWT saja kita ucapkan puji dan syukur atas segala ni’mat yang senantiasa Allah limpahkan kepada kita semua. Salawat dan salam kepada tauladan yang mulia, Nabi dan Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam (SAW) beserta keluarga, para sahabat RA, tabi’in, tabiut tabiahum dan kepada ummat Islam sepanjang masa dimanapun berada. Semoga kita semua senantiasa istiqamah menegakkan agama Islam sampai akhir hayat nanti, aamiin yaa Rabb al’aalamiin.

Insyaa Allah pada hari ini kita lanjutkan kembali siirah Rasulullah SAW dengan episode tahun kesedihan. Dimana pada tahun itu, disamping paman Nabi SAW, Abu Thalib dan istri Nabi SAW, (Siti) Khadijah Radhiya Allahu ‘Anha (RA) meninggal dunia, Nabi SAW juga mengalami kesedihan karena dakwah Nabi SAW kepada banu Tsaqif agar beriman kepada Allah SWT ditolak. Nabi SAW tidak saja mengalami kesedihan hati tetapi juga mengalami luka-luka karena dilempar batu oleh orang-orang suruhan bani Tsaqif. Meskipun Nabi SAW bisa saja mendapatkan bantuan Allah Azza wa Jalla untuk membalas penolakan banu Tsaqif, tetapi Nabi SAW mendo’akan anak keturunan banu Tsaqif menyembah Allah satu-satunya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.

Sebelumnya sudah kita sebutkan bahwa Nabi SAW minta para pemuka banu Tsaqif untuk tidak mengabarkan kunjungan Nabi SAW kepada mereka. Namun demikian, kepergian Nabi SAW ke Thaif tanpa sepengetahuan para pemuka Quraisy di Makkah yang bertujuan untuk mendapat pertolongan dari pembesar-pembesar Thaif, akhirnya terdengar oleh para pemuka kaum musyrikin Quraisy. Oleh sebab itu, para pemuka kaum musyrikin Quraisy telah memutuskan dengan suara bulat dalam musyawarah mereka bahwa Nabi SAW tidak diperkenankan pulang dan berdiam di Makkah, terutama bertetangga dengan kaum Quraisy.

Menurut hukum dan kebiasaan atau tradisi waktu itu Nabi SAW membutuhkan perlindungan seseorang atau sponshorship untuk masuk kembali ke Makkah. Nabi mengirim pesan atau utusan kepada Akhnas bin Syariq dari suku Zuharah dan Suhail bin Amru dari suku Amir agar mereka mau menjadi sponshor Nabi SAW untuk masuk kembali ke Makkah. Namun, kedua kepala suku tersebut menolak dengan alasan yang yang dibuat-buat.

Kemudian Nabi SAW mengirim pesan atau utusan kepada Muth'im bin Adi, kepala suku Naufal agar mau memberikan sponshor untuk Nabi SAW kembali masuk ke Makkah dengan aman. Alhmadulillah, Muth’im bin Adi menyaanggupi permintaan Nabi SAW. Muth’im bin Adi juga menginstruksikan ke-empat anaknya untuk mempersenjatai diri dan bersama anak-anaknya mengawal Nabi SAW kembali ke Haram (Makkah).

Setelah Nabi SAW memasuki masjid Haram, Muth'im mempersilahkan Nabi SAW untuk melakukan tawaf. Tawaf adalah ajaran Nabi Ibrahim AS, dan kaum musyrikin Makkah juga mengetahui bahwa Nabi SAW juga melakukan tawaf mengelilingi Kaabah. Setelah Nabi SAW melakukan tawaf, Muth’im bin Adi memberikan pengumuman di depan masjid Haram, "Saya memberikan perlindungan kepada Muhammad (SAW)." Abu Sufyan bertanya, "Apakah Anda memberinya perlindungan setelah menerima agamanya?" Muth'im bin Adi menjawab, "Tidak, saya hanya memberinya perlindungan." Abu Sufyan menyatakan, "Kalau begitu kami bisa merima Muhammad (SAW) kembali kepada kami." Dengan cara ini, Nabi SAW menjadi penduduk Makkah lagi. Dengan mendapatkan perlindungan dari Muth’im bin Adi, maka kaum musyrikin Quraisy tidak leluasa mengganggu Nabi SAW.

Sebelumnya juga sudah kita sebutkan bahwa Muht’im bin Adi juga berinisiatif untuk meprakarsai pembatalan boikot pada episode pemboikotan kaum Musyrikin Quraisy kepada Banu Hasyim dan Ummat Islam. Dengan demikian Nabi SAW telah menerima dua kali kebaikan atau pertolongan dari Muth’im bin Adi, seorang musyrik Quraisy karena sampai ajalnya Muth’im bin Adi tidak memeluk agama Islam yang dibawa Nabi SAW. Pada kedua kasus, dengan bantuan atau jasa Muth’im bin Adi baik secara langsung maupun tidak langsung kepada Nabi SAW sehingga Nabi SAW bisa kembali ke Makkah.

Jasa-jasa Muth’im bin Adi ini selalu diingat oleh Rasulullah SAW. Sehingga setelah mengalahkan kaum musyrikin Quraisy dalam Perang Badr. Beliau SAW bersabda perihal para tawanan perang Badr, “Seandainya Muth’im bin Adi masih hidup lalu dia berbicara kepadaku untuk pembebasan orang-orang kafir (yang busuk baunya) ini, maka tentu aku serahkan mereka kepadanya tanpa tebusan” (HR Shahih Bukhari No. 2906, Sunan Abu Daud No. 2314 dan lain-lain)

Catatan pinggir bahwa pada perang Badr, kaum Muslim yang dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW telah menawan sekitar tujuh puluhan orang kaum musyrikin Quraisy. Dari sekian puluh tawanan, hanya dua orang yang dihukum mati karena ulah mereka sendiri dalam perjalanan dari Badr ke Madinah. Selebihnya, para tawanan Badr ini dilepaskan semuanya. Ada yang dilepaskan dengan membayar uang jaminan, ada yang dilepaskan dengan cara barter baik dengan ilmu (baca tulis) atau dengan saudara/keluarga kaum Muslim di Makkah, dan ada juga yang dilepaskan tanpa jaminan sama sekali karena miskin setelah berjanji tidak ikut memusuhi Nabi SAW dan Ummat Islam.

Sebelum kita tutup, para ulama mencoba mengambil pelajaran dari kisah perjalanan atau dalam beberapa buku siirah ada yang menyebutkan sebagai hijrah, ada pula yang menyebutkan sebagai kisah sedih atau tragedi dan ada juga yang menyebutkan sebagai dakwah ke Tha’if. Berikut beberapa pelajaran yang dapat kita ambil dari kisah perjalanan atau kunjungan Nabi Muhammad SAW ke Tha’if.

1.    Prioritas dakwah Rasulullah SAW terhadap tokoh kabilah Tsaqif di Thaif kala itu merupakan bukti pentingnya menyampaikan dakwah kepada para tokoh panutan manusia atau para pemimpin.
2.    Rasulullah SAW bersikap sabar dalam menghadapi perlakuan buruk para penentangnya. Meskipun mendapatkan perlakuan buruk, Nabi SAW tidak mendoakan kepada Allah agar menurunkan siksa kepada mereka. Namun sebaliknya, Beliau SAW mendoakan agar mereka mendapatkan hidayah, dan Allah Azza wa Jalla memperkenankan doa Nabi Muhammad SAW tersebut.
3.    Perjumpaan jin dengan Rasulullah SAW di lembah Nakhlah merupakan bukti, bahwa jin itu ada dan mereka itu juga mukallaf, yaitu mempunyai tanggung jawab untuk menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah. Jadi diantara jin juga ada yang beriman dan ada juga yang kafir kepada Allah SWT.
4.    Berimannya bangsa jin dan seorang budak menunjukkan kepada kita bahwa Allah memberikan hidayah kepada siapa saja yang dikehendaki Allah sedangkan manusia wajib berusaha. Mungkin dalam pandangan manusia hasilnya tidak sesuai dengan target dakwah yang ditugaskan kepada Nabi SAW, tapi itulah yang terbaik menurut Allah Azza wa-Jalla.
5.    Dalam kisah rihlah (perjalanan) Rasulullah SAW ke Thaif dan penderitaan yang Beliau SAW alami terdapat pelajaran bagi para da’i. Jika Rasulullah SAW saja menanggung derita, maka begitu juga dengan para da’i. Oleh karena itu, para da’i wajib mempersiapkan diri, karena dakwah merupakan jalan para Nabi dan orang-orang shalih. Juga dikarenakan tuntutan hikmah Allah Azza wa-Jalla bahwa din ini tidak akan dimenangkan kecuali dengan amalan dan usaha keras manusia.

Demikian kita cukupkan sampaikan disini. Insyaa' Allah minggu depan akan kita lanjut lagi dengan episode lain dari siirah Rasulullah SAW. Kalau ada yang salah, itu semua berasal dari saya sebagai makhluk yang tidak luput dari salah, tolong dikoreksi semua kesalahan tersebut. Saya memohon ampun kepada Allah Azza wa Jalla atas semua kesalahan dan kekhilafan dalam tulisan ini. Semua yang benar berasal dan milik Allah yang Maha Mengetahui.

Maha suci Engkau yaa Allah, dan segala puji bagi-Mu. Saya bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah. Saya bersaksi bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah. Saya mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu yaa Allah.

Semoga bermamfa'at, wallahu a'lamu bish-shawaabi.

Wassalam