Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuhu.
بسمِ اللهِ الرّحمٰنِ الرّحيمِ
Alhamdulillahi Rabb al'aalamiina. Sungguh hanya kepada Allah SWT saja kita ucapkan puji dan syukur atas segala ni'mat yang senantiasa Allah limpahkan kepada kita semua. Salawat dan salam kepada tauladan yang mulia, Nabi dan Rasulullah Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wassalam (SAW) beserta keluarga, para sahabat RA, tabi'in, tabiut tabiahum dan kepada ummat Islam sepanjang masa dimanapun berada. Semoga kita semua istiqamah menegakkan agama Islam sampai akhir hayat nanti, aamiin yaa Rabb al'aalamiin.
Insyaa Allah hari ini akan kita bahas dan sharing tentang pentingnya mengikuti mazhab dalam beragama. Sebelumnya sudah kita bahas tentang perbedaan pendapat ulama fuqaha, perpecahan ummat, dan mayoritas ummat Islam adalah penghuni Al-Jannah di yaumil akhirat nanti. Hal ini sebenarnya menunjukkan pada kita bahwa meskipun para ulama fuqaha atau imam mazhab berbeda pendapat tetapi merupakan satu ummat, satu jama'ah yaitu ummat Rasulullah SAW. Lantas kenapa atau apa perlunya mengikuti mazhab? Kenapa ummat Islam tidak langsung saja menggunakan Al-Qur'an dan Hadits, toh sumbernya sama?
Sebenarnya hal ini sederhana saja dan mudah dimengerti. Bagaimana mungkin kita (ummat Islam) saat ini bisa mengetahui syari'at agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW yang hidup berbeda lebih dari 14 abad tanpa adanya karya-karya para ulama atau imam mazhab dari masa ke masa. Pada tahap-tahap awal dapat dimengerti para sahabat mempunyai akses langsung kepada Nabi Muhammad SAW dan Nabi SAW dapat menyampaikan koreksi jika terjadi kesalahan atau perbedaan pemahaman. Begitu juga di zaman tabi'in dimana mereka masih bisa menemukan sahabat untuk bertanya. Meskipun demikian, tidak semua orang mempunyai kualifikasi dan authority yang sama sehingga di zaman ke kalifahan sahabat, para ulama mulailah menuliskan atau memformulasikan ajaran Islam agar warisan Rasulullah SAW tersebut bisa diturunkan ke generasi-generasi berikut. Begitu seterusnya sampai ke generasi kita (ummat Islam) yang sekarang ini, berpegang dan mengikuti pemahaman imam mazhab yang telah berlangsung lebih dari seribu tahun tersebut.
Ketika kita bicara tentang perbedaan pendapat para ulama yang mewakili mazhab-mazhab tertentu, jangan sekali-kali kita berpikir bahwa mazhab itu sekedar kelompok-kelompok yang tidak penting dan suka berseteru dan memecah-belah persatuan umat dengan perbedaan pendapat tersebut. Padahal sesungguhnya hakikat dan jatidiri mazhab-mazhab fiqih itu tidak lain adalah merupakan fatwa resmi dan profesional yang menjadi pusat penelitian, riset dan tahqiq (validasi) atas kesimpulan-kesimpulan hukum syariah dari kurun ke kurun mulai dari masa setelah sahabat RA. Tentu saja yang diteliti itu tidak lain adalah sumber-sumber resmi agama Islam yang valid, yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah (Hadits).
Keberadaan mazhab fiqih merupakan instrumen vital dalam memahami Al-Qur'an dan Hadits, dimana keduanya tidak boleh dipahami secara sembrono, seenak udel dan semau-maunya sendiri. Harus ada tools yang benar untuk merujuk kepada warisan Nabi SAW ini, dan tidak lain mazhab fiqih itulah yang disepakati sepanjang sejarah untuk menjadi tuntutan ummat Islam sampai saat ini.
Para ulama atau imam mazhab itu tidak lain adalah para peneliti, pakar dan begawan-begawan yang paling tinggi derajatnya dalam bidang istinbaath (menggali atau mengeluarkan dari sumbernya) hukum. Mereka itu harus hafal Al-Qur'an - bahkan ada hafal Al-Qur'an luar kepala sejak kecil. Para ulama atau imam mazhab ini harus hafal hadits Rasulullah SAW – ribuan atau puluhan ribu hadits, baik matan atau sanadnya. Sekaligus para ulama atau imam mazhab ini juga pakar dalam bidang penelitian keshahihan setiap hadits itu dan harus mempunyai wawasan yang luas terhadap pemahaman Al-Qur'an dan Hadits.
Sangat penting untuk kita ketahui bahwa pendapat para ulama di tiap-tiap mazhab itu sudah terbentuk sejak seribu tahun yang lalu, dan sampai hari ini tidak pernah tumbang atau runtuh. Teori dan hasil ijtihad para ulama malah semakin banyak mengikuti perubahan zaman, meskipun sumbernya tetap sama - tidak berubah yaitu Al-Qur'an dan Hadits. Jadi sampai saat ini mazhab-mazhab itu masih exist – tidak hilang timbul atau berganti dengan mazhab-mazhab baru. Lagi-lagi, ini menunjukkan pada kita bahwa keberadaan mazhab-mazhab itu tidak ada yang menyalahi syariat agama Islam.
Lantas bagaimana dengan pendapat yang mengatakan bahwa kebenaran itu selalu hanya ada satu dan tidak mungkin ada dua kebenaran? Teori bahwa kebenaran itu hanya ada satu itu tidak bisa main pasang seenaknya. Teori macam ini hanya bisa dipakai dalam masalah-masalah yang fundamental, misalnya tentang kebenaran agama Islam dibandingkan agama-agama samawi lainnya. Atau tentang adanya Tuhan yang satu dibandingkan teori Atheisme yang masih meragukan keberadaan-Nya.
Teori ini tidak bisa dipakai untuk hal-hal yang bersifat ijtihadi (penelitian) dan ruang lingkup wilayah furu'iyah (cabang) agama. Alasannya karena masalah furu'iyah agama itu sejak awal memang sudah diberikan ruang untuk berbeda-beda, bahkan di zaman Nabi SAW masih hidup para sahabat sudah berbeda cara pandang dalam memahami perkataan Nabi SAW. Bahkan ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits sendiri sudah memberi ruang yang luas untuk terjadinya perbedaan itu. Seperti yang sudah kita bahas sebelumnya bahwa para Nabi dan Malaikat juga berbeda pemahaman. Jadi tidak dapat kita memvonis bahwa cuman mazhab ini yang benar sedangkan mazhab lainnya salah. Tapi semua mazhab adalah merupakan jalan-jalan menuju kepada suatu pemahaman terhadap Al-Qur'an dan Hadits.
Namun demikian para ulama telah memberikan pedoman dalam memilih pendapat dari perbedaan pendapat para ulama, kriterianya bukan benar atau salahnya. Sebab semuanya relatif benar, setidaknya menurut masing-masing mazhab itu sendiri. Dan kita tidak berhak untuk menyalahkan apa-apa yang sudah diijtihadkan oleh para pakar di bidangnya. Setidaknya ada 4 poin pijakan agar kita bisa memahami mazhab dengan benar dan mesti kita ikuti dari arah yang mana sehingga cara beragama kita menjadi benar dan terarah.
Pertimbangan pertama dalam memilih tentu kalau kita sudah mengenalnya. Sebagai ilustrasi yang mudah, misalnya kita tinggal di Jakarta dan mau ke Bogor. Ada banyak rute alternatif yang bisa kita lalui, misalnya lewat jalan TOL Jagorawi, atau lewat jalan biasa Cibinong, atau lewat Depok Citayam, bahkan bisa juga lewat Parung. Dari semua rute itu, tidak ada satupun rute yang sesat atau keliru, semua rute pasti benar. Namun kenapa Saya pilih jalan TOL Jagorawi dan bukan lewat Parung, karena yang saya tahu cuma lewat jalan TOL Jagorawi saja. Sedangkan lewat Parung belum pernah saya lalui. Boleh jadi lewat Parung itu malah lebih baik, namun karena saya tidak tahu, tentu tidak jadi pilihan saya.
Demikian pula ketika memilih pendapat yang berbeda dari para ulama mazhab yang empat, boleh saja pertimbangannya adalah karena pendapat itu sudah saya kenal sejak awal. Sebagai orang Indonesia yang dibesarkan dengan akar kultur mazhab Asy-Syafiiyah, sangat masuk akal kalau saya tidak mau shalat manakala sejadah saya terkena kotoran (binatang atau manusia). Sebab yang saya tahu kotoran itu najis dan tidak sah shalat saya ini kalau tempat shalat ada najisnya. Sikap seperti ini sangat manusiawi, masuk akal dan wajar sekali.
Dari sanalah kemudian muncul anjuran untuk berpegang teguh hanya kepada satu mazhab saja. Karena biasanya kita lebih mudah belajar satu mazhab ketimbang belajar sekaligus empat mazhab – jadi bukan alasan fanatik terhadap mazhab tertentu. Adapun mazhab lainnya, kenapa tidak digunakan, tentu alasannya sangat masuk akal, yaitu karena kita tidak tahu atau belum pernah mempelajarinya dengan baik dan lengkap. Maka justru kita tidak boleh mempraktekkan hal-hal yang kita belum pelajari dengan benar. Sebab nanti bisa keliru dan salah jalan sendiri. Kita juga dilarang fanatik atau taqlik buta.
Pertimbangan lainnya dalam memilih suatu pendapat adalah masalah kemaslahatan. Mana yang lebih maslahat bagi diri kita dan jama'ah, itulah yang menjadi pilihan kita. Misalnya kita berkunjung atau berceramah di daerah mayoritas jama'ahnya bermazhab Asy-syafi'iyah, yang mana mereka pasti melakukan qunut pada rakaat terakhir shalat shubuh. Tentu menjadi sangat tidak bijak kalau kita menjadi imam, lantas kita sengaja meninggalkan doa qunut pada saat shalat shubuh. Meskipun kita tahu bahwa di dalam mazhab lainnya seperti mazhab Al-Hanafiyah, qunut shubuh itu dianggap tidak sunnah. Sebab hal itu akan menjadi masalah tersendiri buat masyarakat awam, karena kita telah memicu kekisruhan yang sama sekali tidak ada unsur maslahatnya, bahkan bisa menimbulkan perpecahan.
Selain kedua pertimbangan di atas, ada lagi yang juga bisa dijadikan bahan pertimbangan dalam memilih pendapat dan ini yang merupakan pokok pertimbangan yaitu faktor pendapat mayoritas ulama. Ketika terjadi perbedaan pendapat bagaimana kita ikut arahan Nabi SAW "Sesungguhnya umatku tidak akan bersatu di atas kesesatan, apabila kalian melihat perselisihan maka kalian harus berada di sawadul a'zham (kelompok yang terbanyak/mayoritas; maksudnya yang sesuai dengan sunnah)" (HR sunan Ibnu Majah No. 3940). Jadi karena kita tinggal di negara yang mayoritas bermazhab Asy-Syafi'iyah maka ketika terjadi perbedaan pendapat dalam masalah furu' maka ikutlah pendapat imam Asy-Syafi'iyah.
Pertimbangan lain yang tidak kalah pentingnya dalam memilih suatu pendapat adalah dari sisi kehati-hatian. Kalau ada dua pendapat yang berbeda, satu bilang halal dan satu bilang haram, maka sangat masuk akal kalau kita mengambil posisi berhati-hati. Contohnya adalah masalah sentuhan kulit secara langsung antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram tanpa lapisan. Menurut mazhab yang kita pahami mengatakan bahwa hal itu membatalkan wudhu dan mazhab lain bilang tidak membatalkan wudhu'. Sungguh sangat baik dan masuk akal serta amat wajar kalau kita berhat-hati, meskipun pendapat mazhab kita mengatakan tidak membatalkan wudhu', tetapi kita tetap berwudhu' demi kehati-hatian. Sebab berhati-hati dalam masalah agama itu baik, selama tidak sampai berlebih-lebihan atau ghuluw.
Sebelum kita tutup, sesungguhnya mazhab fiqih itu bukan hanya ada 4 saja, tetapi masih ada banyak lagi yang lainnya. Bahkan jumlahnya bisa mencapai puluhan. Namun yang terkenal hingga sekarang ini memang hanya 4 saja, karena keempatnya merupakan mazhab yang telah terbukti sepanjang zaman bisa tetap bertahan, padahal usianya sudah lebih dari seribu tahun. Keempat mazhab tersebut adalah Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah.
Didalam keempat mazhab tersebut terdapat banyak sekali (ratusan, ribuaan atau jutaan tergantung zaman) ulama ahli yang meneruskan dan melanggengkan ajaran agama Islam. Dan masing-masing memiliki pengikut yang jumlahnya paling besar, serta mampu bertahan dalam waktu yang sangat lama. Para ulama mazhab itu kemudian menulis kitab yang tebal-tebal dalam jumlah yang sangat banyak, kemudian diajarkan kepada mayoritas umat Islam di seluruh penjuru dunia. Bahkan ulama diluar mazhab yang empat pada satu waktu (titik) tertentu (terpaksa atau harus) menggunakan kitab rujukan mazhab yang empat ini karena ajaran mereka tidak sampai kepada Rasulullah SAW tanpa merujuk kepada mazhab yang empat.
Demikian kita cukupkan sampaikan disini. Insyaa' Allah minggu depan akan kita lanjut lagi dengan pembahasan lain. Kalau ada yang salah, itu semua berasal dari saya sebagai makhluk yang tidak luput dari salah, tolong dikoreksi semua kesalahan tersebut. Saya memohon ampun kepada Allah Azza wa Jalla atas semua kesalahan dan kekhilafan dalam tulisan ini. Semua yang benar berasal dan milik Allah yang Maha Mengetahui.
Maha suci Engkau yaa Allah, dan segala puji bagi-Mu. Saya bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah (dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah). Saya mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu yaa Allah.
Semoga bermamfa'at, wallahu a'lamu bish-shawaabi.