Sabtu, 30 Juli 2016

Ummat Harus Bermazhab

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuhu.

بسمِ اللهِ الرّحمٰنِ الرّحيمِ

Alhamdulillahi Rabb al'aalamiina. Sungguh hanya kepada Allah SWT saja kita ucapkan puji dan syukur atas segala ni'mat yang senantiasa Allah limpahkan kepada kita semua. Salawat dan salam kepada tauladan yang mulia, Nabi dan Rasulullah Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wassalam (SAW) beserta keluarga, para sahabat RA, tabi'in, tabiut tabiahum dan kepada ummat Islam sepanjang masa dimanapun berada. Semoga kita semua istiqamah menegakkan agama Islam sampai akhir hayat nanti, aamiin yaa Rabb al'aalamiin.

Insyaa Allah hari ini akan kita bahas dan sharing tentang pentingnya mengikuti mazhab dalam beragama. Sebelumnya sudah kita bahas tentang perbedaan pendapat ulama fuqaha, perpecahan ummat, dan mayoritas ummat Islam adalah penghuni Al-Jannah di yaumil akhirat nanti. Hal ini sebenarnya menunjukkan pada kita bahwa meskipun para ulama fuqaha atau imam mazhab berbeda pendapat tetapi merupakan satu ummat, satu jama'ah yaitu ummat Rasulullah SAW. Lantas kenapa atau apa perlunya mengikuti mazhab? Kenapa ummat Islam tidak langsung saja menggunakan Al-Qur'an dan Hadits, toh sumbernya sama?

Sebenarnya hal ini sederhana saja dan mudah dimengerti. Bagaimana mungkin kita (ummat Islam) saat ini bisa mengetahui syari'at agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW yang hidup berbeda lebih dari 14 abad tanpa adanya karya-karya para ulama atau imam mazhab dari masa ke masa. Pada tahap-tahap awal dapat dimengerti para sahabat mempunyai akses langsung kepada Nabi Muhammad SAW dan Nabi SAW dapat menyampaikan koreksi jika terjadi kesalahan atau perbedaan pemahaman. Begitu juga di zaman tabi'in dimana mereka masih bisa menemukan sahabat untuk bertanya. Meskipun demikian, tidak semua orang mempunyai kualifikasi dan authority yang sama sehingga di zaman ke kalifahan sahabat, para ulama mulailah menuliskan atau memformulasikan ajaran Islam agar warisan Rasulullah SAW tersebut bisa diturunkan ke generasi-generasi berikut. Begitu seterusnya sampai ke generasi kita (ummat Islam) yang sekarang ini, berpegang dan mengikuti pemahaman imam mazhab yang telah berlangsung lebih dari seribu tahun tersebut.

Ketika kita bicara tentang perbedaan pendapat para ulama yang mewakili mazhab-mazhab tertentu, jangan sekali-kali kita berpikir bahwa mazhab itu sekedar kelompok-kelompok yang tidak penting dan suka berseteru dan memecah-belah persatuan umat dengan perbedaan pendapat tersebut. Padahal sesungguhnya hakikat dan jatidiri mazhab-mazhab fiqih itu tidak lain adalah merupakan fatwa resmi dan profesional yang menjadi pusat penelitian, riset dan tahqiq (validasi) atas kesimpulan-kesimpulan hukum syariah dari kurun ke kurun mulai dari masa setelah sahabat RA. Tentu saja yang diteliti itu tidak lain adalah sumber-sumber resmi agama Islam yang valid, yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah (Hadits).

Keberadaan mazhab fiqih merupakan instrumen vital dalam memahami Al-Qur'an dan Hadits, dimana keduanya tidak boleh dipahami secara sembrono, seenak udel dan semau-maunya sendiri. Harus ada tools yang benar untuk merujuk kepada warisan Nabi SAW ini, dan tidak lain mazhab fiqih itulah yang disepakati sepanjang sejarah untuk menjadi tuntutan ummat Islam sampai saat ini.

Para ulama atau imam mazhab itu tidak lain adalah para peneliti, pakar dan begawan-begawan yang paling tinggi derajatnya dalam bidang istinbaath (menggali atau mengeluarkan dari sumbernya) hukum. Mereka itu harus hafal Al-Qur'an - bahkan ada hafal Al-Qur'an luar kepala sejak kecil. Para ulama atau imam mazhab ini harus hafal hadits Rasulullah SAW – ribuan atau puluhan ribu hadits, baik matan atau sanadnya. Sekaligus para ulama atau imam mazhab ini juga pakar dalam bidang penelitian keshahihan setiap hadits itu dan harus mempunyai wawasan yang luas terhadap pemahaman Al-Qur'an dan Hadits.

Sangat penting untuk kita ketahui bahwa pendapat para ulama di tiap-tiap mazhab itu sudah terbentuk sejak seribu tahun yang lalu, dan sampai hari ini tidak pernah tumbang atau runtuh. Teori dan hasil ijtihad para ulama malah semakin banyak mengikuti perubahan zaman, meskipun sumbernya tetap sama - tidak berubah yaitu Al-Qur'an dan Hadits. Jadi sampai saat ini mazhab-mazhab itu masih exist – tidak hilang timbul atau berganti dengan mazhab-mazhab baru. Lagi-lagi, ini menunjukkan pada kita bahwa keberadaan mazhab-mazhab itu tidak ada yang menyalahi syariat agama Islam.

Lantas bagaimana dengan pendapat yang mengatakan bahwa kebenaran itu selalu hanya ada satu dan tidak mungkin ada dua kebenaran? Teori bahwa kebenaran itu hanya ada satu itu tidak bisa main pasang seenaknya. Teori macam ini hanya bisa dipakai dalam masalah-masalah yang fundamental, misalnya tentang kebenaran agama Islam dibandingkan agama-agama samawi lainnya. Atau tentang adanya Tuhan yang satu dibandingkan teori Atheisme yang masih meragukan keberadaan-Nya.

Teori ini tidak bisa dipakai untuk hal-hal yang bersifat ijtihadi (penelitian) dan ruang lingkup wilayah furu'iyah (cabang) agama. Alasannya karena masalah furu'iyah agama itu sejak awal memang sudah diberikan ruang untuk berbeda-beda, bahkan di zaman Nabi SAW masih hidup para sahabat sudah berbeda cara pandang dalam memahami perkataan Nabi SAW.  Bahkan ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits sendiri sudah memberi ruang yang luas untuk terjadinya perbedaan itu. Seperti yang sudah kita bahas sebelumnya bahwa para Nabi dan Malaikat juga berbeda pemahaman. Jadi tidak dapat kita memvonis bahwa cuman mazhab ini yang benar sedangkan mazhab lainnya salah. Tapi semua mazhab adalah merupakan jalan-jalan menuju kepada suatu pemahaman terhadap Al-Qur'an dan Hadits.

Namun demikian para ulama telah memberikan pedoman dalam memilih pendapat dari perbedaan pendapat para ulama, kriterianya bukan benar atau salahnya. Sebab semuanya relatif benar, setidaknya menurut masing-masing mazhab itu sendiri. Dan kita tidak berhak untuk menyalahkan apa-apa yang sudah diijtihadkan oleh para pakar di bidangnya. Setidaknya ada 4 poin pijakan agar kita bisa memahami mazhab dengan benar dan mesti kita ikuti dari arah yang mana sehingga cara beragama kita menjadi benar dan terarah.

Pertimbangan pertama dalam memilih tentu kalau kita sudah mengenalnya. Sebagai ilustrasi yang mudah, misalnya kita tinggal di Jakarta dan mau ke Bogor. Ada banyak rute alternatif yang bisa kita lalui, misalnya lewat jalan TOL Jagorawi, atau lewat jalan biasa Cibinong, atau lewat Depok Citayam, bahkan bisa juga lewat Parung. Dari semua rute itu, tidak ada satupun rute yang sesat atau keliru, semua rute pasti benar. Namun kenapa Saya pilih jalan TOL Jagorawi dan bukan lewat Parung, karena yang saya tahu cuma lewat jalan TOL Jagorawi saja. Sedangkan lewat Parung belum pernah saya lalui. Boleh jadi lewat Parung itu malah lebih baik, namun karena saya tidak tahu, tentu tidak jadi pilihan saya.

Demikian pula ketika memilih pendapat yang berbeda dari para ulama mazhab yang empat, boleh saja pertimbangannya adalah karena pendapat itu sudah saya kenal sejak awal. Sebagai orang Indonesia yang dibesarkan dengan akar kultur mazhab Asy-Syafiiyah, sangat masuk akal kalau saya tidak mau shalat manakala sejadah saya terkena kotoran (binatang atau manusia). Sebab yang saya tahu kotoran itu najis dan tidak sah shalat saya ini kalau tempat shalat ada najisnya. Sikap seperti ini sangat manusiawi, masuk akal dan wajar sekali. 

Dari sanalah kemudian muncul anjuran untuk berpegang teguh hanya kepada satu mazhab saja. Karena biasanya kita lebih mudah belajar satu mazhab ketimbang belajar sekaligus empat mazhab – jadi bukan alasan fanatik terhadap mazhab tertentu. Adapun mazhab lainnya, kenapa tidak digunakan, tentu alasannya sangat masuk akal, yaitu karena kita tidak tahu atau belum pernah mempelajarinya dengan baik dan lengkap. Maka justru kita tidak boleh mempraktekkan hal-hal yang kita belum pelajari dengan benar. Sebab nanti bisa keliru dan salah jalan sendiri. Kita juga dilarang fanatik atau taqlik buta.

Pertimbangan lainnya dalam memilih suatu pendapat adalah masalah kemaslahatan. Mana yang lebih maslahat bagi diri kita dan jama'ah, itulah yang menjadi pilihan kita. Misalnya kita berkunjung atau berceramah di daerah mayoritas jama'ahnya bermazhab Asy-syafi'iyah, yang mana mereka pasti melakukan qunut pada rakaat terakhir shalat shubuh. Tentu menjadi sangat tidak bijak kalau kita menjadi imam, lantas kita sengaja meninggalkan doa qunut pada saat shalat shubuh. Meskipun kita tahu bahwa di dalam mazhab lainnya seperti mazhab Al-Hanafiyah, qunut shubuh itu dianggap tidak sunnah. Sebab hal itu akan menjadi masalah tersendiri buat masyarakat awam, karena kita telah memicu kekisruhan yang sama sekali tidak ada unsur maslahatnya, bahkan bisa menimbulkan perpecahan.

Selain kedua pertimbangan di atas, ada lagi yang juga bisa dijadikan bahan pertimbangan dalam memilih pendapat dan ini yang merupakan pokok pertimbangan yaitu faktor pendapat mayoritas ulama. Ketika terjadi perbedaan pendapat bagaimana kita ikut arahan Nabi SAW "Sesungguhnya umatku tidak akan bersatu di atas kesesatan, apabila kalian melihat perselisihan maka kalian harus berada di sawadul a'zham (kelompok yang terbanyak/mayoritas; maksudnya yang sesuai dengan sunnah)" (HR sunan Ibnu Majah No. 3940). Jadi karena kita tinggal di negara yang mayoritas bermazhab Asy-Syafi'iyah maka ketika terjadi perbedaan pendapat dalam masalah furu' maka ikutlah pendapat imam Asy-Syafi'iyah.

Pertimbangan lain yang tidak kalah pentingnya dalam memilih suatu pendapat adalah dari sisi kehati-hatian. Kalau ada dua pendapat yang berbeda, satu bilang halal dan satu bilang haram, maka sangat masuk akal kalau kita mengambil posisi berhati-hati. Contohnya adalah masalah sentuhan kulit secara langsung antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram tanpa lapisan. Menurut mazhab yang kita pahami mengatakan bahwa hal itu membatalkan wudhu dan mazhab lain bilang tidak membatalkan wudhu'. Sungguh sangat baik dan masuk akal serta amat wajar kalau kita berhat-hati, meskipun pendapat mazhab kita mengatakan tidak membatalkan wudhu', tetapi kita tetap berwudhu' demi kehati-hatian. Sebab berhati-hati dalam masalah agama itu baik, selama tidak sampai berlebih-lebihan atau ghuluw.

Sebelum kita tutup, sesungguhnya mazhab fiqih itu bukan hanya ada 4 saja, tetapi masih ada banyak lagi yang lainnya. Bahkan jumlahnya bisa mencapai puluhan. Namun yang terkenal hingga sekarang ini memang hanya 4 saja, karena keempatnya merupakan mazhab yang telah terbukti sepanjang zaman bisa tetap bertahan, padahal usianya sudah lebih dari seribu tahun. Keempat mazhab tersebut adalah Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah.

Didalam keempat mazhab tersebut terdapat banyak sekali (ratusan, ribuaan atau jutaan tergantung zaman) ulama ahli yang meneruskan dan melanggengkan ajaran agama Islam. Dan masing-masing memiliki pengikut yang jumlahnya paling besar, serta mampu bertahan dalam waktu yang sangat lama. Para ulama mazhab itu kemudian menulis kitab yang tebal-tebal dalam jumlah yang sangat banyak, kemudian diajarkan kepada mayoritas umat Islam di seluruh penjuru dunia. Bahkan ulama diluar mazhab yang empat pada satu waktu (titik) tertentu (terpaksa atau harus) menggunakan kitab rujukan mazhab yang empat ini karena ajaran mereka tidak sampai kepada Rasulullah SAW tanpa merujuk kepada mazhab yang empat.

Demikian kita cukupkan sampaikan disini. Insyaa' Allah minggu depan akan kita lanjut lagi dengan pembahasan lain. Kalau ada yang salah, itu semua berasal dari saya sebagai makhluk yang tidak luput dari salah, tolong dikoreksi semua kesalahan tersebut. Saya memohon ampun kepada Allah Azza wa Jalla atas semua kesalahan dan kekhilafan dalam tulisan ini. Semua yang benar berasal dan milik Allah yang Maha Mengetahui.

Maha suci Engkau yaa Allah, dan segala puji bagi-Mu. Saya bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah (dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah). Saya mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu yaa Allah.

Semoga bermamfa'at, wallahu a'lamu bish-shawaabi.

Sabtu, 23 Juli 2016

Ummah, Jama’ah dan Mayoritas Islam

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuhu.

بسمِ اللهِ الرّحمٰنِ الرّحيمِ

Alhamdulillahi Rabb al'aalamiina. Sungguh hanya kepada Allah SWT saja kita ucapkan puji dan syukur atas segala ni'mat yang senantiasa Allah limpahkan kepada kita semua. Salawat dan salam kepada tauladan yang mulia, Nabi dan Rasulullah Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wassalam (SAW) beserta keluarga, para sahabat RA, tabi'in, tabiut tabiahum dan kepada ummat Islam sepanjang masa dimanapun berada. Semoga kita semua istiqamah menegakkan agama Islam sampai akhir hayat nanti, aamiin yaa Rabb al'aalamiin.

Insyaa Allah hari ini akan kita bahas dan sharing tentang mayoritas, jama'ah atau ummat Islam. Sebagaimana sudah sering kita sebutkan bahwa ummat Nabi Muhammad SAW adalah ummat yang satu yaitu ummatan wahidah, atau ummatan wasathan yaitu ummat yang berkumpul di tengah atau dominan, atau ummat Islam adalah jama'ah atau mayoritas penghuni surga (al-Jannah) kelak di yaumul akhirat. Baik kata ummat atau ummah maupun kata jama'ah dalam persfektif Islam adalah mengacu kepada atau berarti ummat Nabi Muhammad SAW, ummat Islam (Muslim) yang satu (wahidah), yang dominan (wasathan) dan/atau mayoritas (sawad a'zham).

Marilah kita lihat definisi dari masing-masing kata tersebut, ummat, jama'ah dan mayoritas (sawad a'zham). Kata umat atau ummat merupakan alih bahasa dari kosakata bahasa Arab yaitu dari kata ummah (أُمَّةْ) yang berarti masyarakat atau bangsa. Kata ummah (أمّة) adalah kata benda (isim) yang berasal dari kata kerja amma (أمّ) yang berarti menuju, menumpu atau meneladani. Kata amma (أمّ) juga melahirkan atau merupakan akar kata dari kata umm (أُمْ) = ibu atau induk, dan kata imaaman (أمامًا) = imam atau pemimpin. Sedangkan dari perspektif Islam, para ulama mendefinisikan kata ummah atau ummat sebagai seluruh pengikut agama Islam atau komunitas dari orang-orang yang beriman (ummatul mu'minin) atau ummat Islam (ummatan muslimatan). Dengan demikian, kata ummah atau ummat bermakna seluruh Bangsa atau Dunia Islam – ummatan wahidah (satu ummat).

Di dalam surat Al-Baqarah ayat 128, Nabi Ibrahim AS dan Ismail AS mendo'akan agar ummat keturunan Ibrahim AS dari Ismail AS yaitu Ummat Nabi Muhammad SAW menjadi ummatan muslimatan yang hanya menyembah dan patuh kepada Allah Azza wa Jalla. "Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh (ummatan muslimatan) kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang" (QS 2:128).

Di dalam Al-Qur'an, Allah SWT menyebutkan bahwa ummat Nabi Muhammad SAW adalah ummatan wahidah atau ummat yang satu. Jadi ungkapan kesatuan umat (ummatan wahidah) dalam Al-Qur'an merujuk kepada seluruh kesatuan Bangsa atau Dunia Islam. Firman Allah SWT dalam Al-Qur'an surat Al-Anbiya, "Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua (ummatan); agama yang satu (wahidah) dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku" (QS 21:92).

Pada tahun 622M atau tahun pertama Hijrah, Nabi Muhammad SAW sebelum perintah untuk memerangi kaum musyrikin Makkah atau sebelum perang Badar, membuat perjanjian dengan kaum Yahudi dan musyrikin yang menetap di Madinah untuk mempertahankan Madinah dari serangan musuh dari luar. Perjanjian ini kemudian dikenal dengan Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah. Di dalam Piagam Madinah ini Nabi SAW menyebut pengikut Beliau sebagai satu ummah (ummatan wahidah). "Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang. Ini adalah piagam dari Muhammad Rasulullah SAW, di kalangan mukminin dan muslimin (yang berasal dari) Quraisy dan Yatsrib (Madinah), dan yang mengikuti mereka, menggabungkan diri dan berjuang bersama mereka. Sesungguhnya mereka satu umat (ummatan wahidah = أمة واحدة), lain dari (komuitas) manusia lain …"

Firman Allah Azza wa Jalla dalam surat Al-Baqarah awal ayat 143, "Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan (ummatan wasathan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu …" (QS 2:143). Kata wasathan (وسطا) asalnya dari kata wasatha (وسط) yang berarti menjadi atau berada di tengah, di puncak, di jantung (pusat). Maksud kata wasathan bukan cuman sekedar di tengah tetapi lebih kepada dominan atau puncak. Kata wasathan mengandung ma'na berusaha untuk menjadi terbaik, ada ikhtiar sungguh-sungguh dengan perencanaan yang matang dan untuk mencapai posisi wasathan (di tengah, terbaik dan dominan) tersebut.

Kata jama'ah juga merupakan alih bahasa Arab dari kosa kata bahasa Arab yaitu kata jamaa'ah (جماعة). Menurut bahasa, kata jama'ah atau jamaa'ah memiliki tiga arti, yaitu ijtama'a (أجتمع) = menyatukan atau mengumpulkan, jama'a (جمع) = berkumpul atau bekerja bersama-sama, ajma'a (أجمع) mufakat atau kebulatan suara. Dimana ketiga kata tersebut; Ijtama'a (أجتمع), jama'a (جمع) dan ajma'a (أجمع) berasal dari akar kata yang sama yaitu jim (ج) mim (م) dan (ع). Jadi secara bahasa, kata jama'ah berarti menyatukan, bermufakat dan/atau berkumpul.

Secara terminologi, para ulama berbeda pendapat mengartikan kata jama'ah atau kata jama'ah memiliki penggunaan yang berbeda-beda. Kata Jama'ah memiliki penggunaan yang berbeda-beda dalam syari'at Islam. Sebagian penggunaannya adalah untuk menunjukkan makna sahabat, ahli ilmu pengetahuan, ahli surga dan ummat Islam di bawah kepemimpinan khalifah. Tetapi secara umum mayoritas ulama sepakat bahwa makna jama'ah adalah orang-orang yang mengikuti jalan Rasulullah SAW dan para sahabatnya RA.

Pada pembahasan sebelumnya sudah kita sebutkan di dalam hadits riwayat sunan Abu Daud No. 3980, sunan Tirmidzi No. 2564 dan lain-lain bahwa Rasullullah SAW mengatakan bahwa Ummatku terpecah menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan (millah atau fiqah) dan hanya satu yang selamat atau yang masuk surga (Al-Jannah) yaitu Al-Jamaa'ah. Kemudian di dalam hadits sunan Tirmidzhi No. 2091, musnad Ahmad No. 109 dan lain-lain bahwa Rasulullah SAW menyebutkan Al-Jamaa'ah adalah golongan yang mana aku dan para sahabatku berpegang teguh padanya.

Sebagaimana sudah kita bahas sebelumnya, Nabi Muhammad SAW menyampaikan berita gembira kepada sekitar lima-pulahan sahabat yang hadir bersama Beliau saat itu di Madinah. Sementara jumlah Islam di seluruh Jazirah Arab atau dunia pada saat itu baru sekitar 1500-an sahabat. Bandingkan dengan jumlah penganut agama Yahudi yang ratusan ribu orang di Jazirah Arab atau jutaan orang diseluruh dunia begitu juga dengan penganut agama Nasrani jauh lebih banyak lagi. Nabi Muhammad SAW sudah menyampaikan berita gembira kepada para sahabat RA bahwa ummat Islam merupakan mayoritas penduduk surga (Al-Jannah) di yaumil akhir nanti.

Dalam hadits riwayat shahih Bukhari No. 6047, shahih Muslim No. 324, dan lain-lain Rasulullah SAW berkata, "Maukah kalian (ummat Nabi Muhammad SAW) menjadi 1/4 dari penduduk Surga?" Mereka menjawab "Allahu Akbar!" Kemudian beliau berkata "Maukah kalian menjadi 1/3 dari penduduk Surga?" Mereka menjawab "Allahu Akbar!" Nabi SAW kemudian berkata "Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNYA, sesungguhnya aku mengharapkan agar kalian menjadi 1/2 dari penghuni Surga." Di hadits riwayat sunan Tirmidzi No. 2469, musnad Ahmad No. 21862, dan lain-lain bahwa Nabi SAW menyebutkan bahwa pada hari kiamat jumlah kalian (ummat Nabi Muhammad SAW) adalah sebanyak 2/3 bagian (80 baris per 120 baris) penduduk Surga.

Jadi kalau kita lihat makna dari kata ummat dan jama'ah dari seluruh ayat dan hadits tersebut di atas menunjukan kepada kita bahwa kata ummat dan jama'ah mempunyai makna mayoritas (jumlah terbanyak) - yaitu jumlah terbanyak relatif terhadap jumlah keseluruhan/semua. Ummat Nabi Muhammad SAW, yaitu ummat Islam (ummatan muslimatan) adalah ummatan wahidah (satu ummat), ummatan wasathan (yang dominan). Ummat Nabi Muhammad SAW juga disebut Al-Jama'ah yaitu penghuni terbanyak (mayoritas) di surga (ahlul jannah) dan jama'ah yaitu orang-orang yang mengikuti jalan Rasulullah SAW dan para sahabatnya RA, dimana Rasulullah SAW dan para sahabatku berpegang teguh padanya.

Rasululullah SAW bersabda: "Sesungguhnya Allah SWT tidak menghimpun umat ini diatas kesesatan selamanya. Dan tangan Allah bersama Al-Jama'ah. Maka hendaklah kalian bersama As-Sawad Al-A'zham (kelompok muslimin terbanyak) dan barangsiapa yang menyimpang, maka ia menyimpang ke neraka" (HR sunan Tirmidzi No. 2093). Di dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya umatku tidak akan bersatu di atas kesesatan, apabila kalian melihat perselisihan maka kalian harus berada di sawadul a'zham (kelompok yang terbanyak; maksudnya yang sesuai dengan sunnah)" (HR sunan Ibnu Majah No. 3940).

Ibnu Umar RA berkata: "Rasulullah SAW bersabda: "Allah tidak akan mengumpulkan umatku atas kesesatan selamanya. Pertolo-ngan Allah selalu atas golongan terbanyak. Ikutilah golongan terbesar, karena orang yang mengucilkan diri (dari golongan terbanyak), berarti mengucilkan dirinya ke neraka." Hadits ini diriwayatkan oleh al-Hakim, al-Mustadrak (1/115); Abu Nu'aim, Hilyah al-Auliya' (3/37); dan al-Thabarani, al-Mu'jam al-Kabir, (12/447).

Sebelum kita tutup, marilah kita perhatikan satu hadits lagi yang diriwayatkan oleh musnad Ahmad No. 17722 bahwa Rasulullah SAW berkata, "Barang siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia tidak akan mampu mensyukuri sesuatu yang banyak. Dan barangsiapa tidak berterima kasih kepada manusisa, maka ia tidak akan bersyukur kepada Allah. Membicarakan nikmat Allah termasuk syukur, sedangkan meninggalkannya merupakan perbuatan kufur. Hidup berja'amah adalah rahmat, sedangkan perpecahan adalah adzab."

Dan Firman Allah SWT dalam surat Ali-Imran ayat 103, "Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk."

Demikian kita cukupkan sampaikan disini. Insyaa' Allah minggu depan akan kita lanjut lagi dengan pembahasan lain. Kalau ada yang salah, itu semua berasal dari saya sebagai makhluk yang tidak luput dari salah, tolong dikoreksi semua kesalahan tersebut. Saya memohon ampun kepada Allah Azza wa Jalla atas semua kesalahan dan kekhilafan dalam tulisan ini. Semua yang benar berasal dan milik Allah yang Maha Mengetahui.

Maha suci Engkau yaa Allah, dan segala puji bagi-Mu. Saya bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah (dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah). Saya mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu yaa Allah.

Semoga bermamfa'at, wallahu a'lamu bish-shawaabi.

Sabtu, 16 Juli 2016

Hadits 73 Golongan Ummat Nabi Muhammad SAW

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuhu.

بسمِ اللهِ الرّحمٰنِ الرّحيمِ

Alhamdulillahi Rabb al'aalamiina. Sungguh hanya kepada Allah SWT saja kita ucapkan puji dan syukur atas segala ni'mat yang senantiasa Allah limpahkan kepada kita semua. Salawat dan salam kepada tauladan yang mulia, Nabi dan Rasulullah Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wassalam (SAW) beserta keluarga, para sahabat RA, tabi'in, tabiut tabiahum dan kepada ummat Islam sepanjang masa dimanapun berada. Semoga kita semua istiqamah menegakkan agama Islam sampai akhir hayat nanti, aamiin yaa Rabb al'aalamiin.

Insyaa Allah hari ini akan kita bahas dan sharing tentang hadits 73 golongan, yaitu dimana Nabi SAW menyebutkan bahwa ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga (73) golongan. Para ulama hadits menyimpulkan bahwa hadits-hadits tentang terpecahnya ummat ini menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan, 72 (tujuh puluh dua) golongan masuk Neraka dan satu golongan masuk Surga adalah hadits yang memang sah datangnya dari Rasulullah SAW. Dan tidak boleh seorang pun meragukannya, kecuali kalau ia dapat membuktikan berdasarkan ilmu hadits tentang kelemahannya.

Di dalam hadits riwayat sunan Abu Daud No. 3980, sunan Tirmidzi No. 2564 dan lain-lain bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Kaum Yahudi telah terpecah menjadi tujuh puluh satu (71) golongan atau tujuh puluh dua (72) golongan, dan kaum Nasrani telah terpecah menjadi tujuh puluh satu (71) atau tujuh puluh dua (72) golongan, dan ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga (73) golongan." Di dalam hadits riwayat sunan Ibnu Majah No. 3982, musnad Ahmad No. 11763 dan lain-lain bahwa Rasulullah SAW menyebutkan: "Semuanya masuk neraka kecuali satu golongan saja." Di dalam hadits yang lain disebutkan "… dan yang selamat hanya satu golongan saja." Ketika para sahabat RA bertanya sipakah golongan (yang selamat atau masuk surga) itu, Rasulullah SAW menjawab: "yaitu Al-Jama'ah." Di dalam hadits yang lain disebutkan: "Mereka adalah golongan yang mana aku dan para sahabatku berpegang teguh padanya."

Lebih lanjut para ulama hadits mengatakan bahwa hadits-hadits tentang terpecahnya ummat Islam menjadi tujuh puluh tiga (73) golongan adalah hadits yang shahih sanad dan matannya. Dan yang menyatakan hadits ini shahih adalah pakar-pakar hadits yang memang sudah ahli dibidangnya. Kemudian menurut kenyataan yang ada bahwa ada ummat Islam yang salah dalam memaknai atau memahami hadits-hadits tersebut sehingga timbul perpecahan dan masing-masing mengklaim (mengakui secara sepihak) bahwa golongan merekalah yang benar.

Sebagaimana telah kita bahas sebelumnya tentang perpecahan ummat, bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala (SWT) melarang ummat Islam berpecah belah seperti kaum musyrikin. Firman Allah SWT dalam surat Ar-Rum akhir ayat 31 sampai 32. "dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka" (QS 30:31-32).
Sebelumnya kita batasi dulu bahwa perpecahan disini menurut para ulama adalah perpecahan yang disebabkan oleh perbedaan ushuliyyah (pokok aqidah/tauhid) bukan dalam lingkup ikhtilaf atau berbeda pendapat diantara fuqaha ummat Islam (furu'iyyah atau cabang) atau perbedaan fiqih. Secara definisi pokok aqidah Islam adalah aqidah yang diterima/menerima dan dibenarkan/membenarkan Allah SWT, yang sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW dan juga (diikuti) para sahabatnya. Di dalam hadits-hadits di atas disebut sebagai Al-Jama'ah (mayoritas), yang mana Nabi SAW dan para sahabat berada di atasnya. Aqidah Islam ini kemudian juga disebut dengan istilah aqidah ahlul sunnah wal jamaah atau kalau di Indonesia disingkat dengan aswaja.

Kalau kita mau sederhanakan, pada intinya seorang Muslim mengikuti aqidah Islam ahul sunnah wal jama'ah bisa diindikasikan dengan masalah kelurusan dalam konsep berkeyakinan kepada rukun iman yang enam perkara itu. Yaitu, cara pandang kita kepada Allah, para malaikat, kitab suci, para nabi, hari akhir dan konsep qadha dan qadar dari Allah SWT harus benar. Dalam arti bukan sekedar mengakuinya, namun memiliki konsep yang lurus dan benar sebagaimana dahulu Rasulullah SAW mengajarkan dan diimani oleh para sahabat Beliau.

Para ulama menyebutkan bahwa diluar definisi aqidah Islam ahlul sunnah wal jama'ah tersebut di atas, adalah yang disebut golongan atau firqah atau millah dari orang-orang yang mempunyai aqidah menyimpang atau berpecah. Seperti aqidah yang mengakui ada Nabi setelah Muhammad SAW, dimana dalam pandangan aqidah ahlul sunnah wal jamaah, Muhammad SAW adalah Nabi terakhir, tidak ada Nabi sesudah Beliau. Otomatis juga tidak ada lagi wahyu yang turun dari langit setelah Beliau wafat. Contoh lain dari aqidah yang menyimpang adalah aqidah yang mengajarkan bahwa dalam taraf tertentu, manusia bisa mencapai derajat yang tinggi bahkan bisa langsung berhubungan dengan Tuhan, untuk kemudian menyatu dengan Tuhan. Atau aqidah yang berkeyakinan bahwa Tuhan sendiri turun ke dunia. Naudzu billahi min zalik.

Contoh lain dari aqidah yang menyimpang adalah bila seseorang mengatakan bahwa Malaikat Jibril AS salah menurunkan wahyu, seharusnya kepada imam Ali bin Abi Thalib RA bukan kepada Nabi Muhammad SAW. Atau mengatakan bahwa mushaf yang benar adalah mushaf lain yang disusun oleh Ali bin Abi Thalib RA. Atau mengatakan bahwa akan ada imam Mahdi yang ma'shum tanpa dosa dan menerima wahyu dari Allah SWT layaknya seorang Nabi. Termasuk contoh aqidah yang sesat adalah yang mengatakan bahwa semua agama sama. Semua umat Islam, Kristen, Hindu, Budha atau Konghuchu akan masuk surga, semua kembali kepada niatnya. Aqidah seperti ini selain sesat juga menyesatkan.

Termasuk contoh aqidah sesat adalah keingkaran kepada keberadaan sunnah atau hadits Rasulullah SAW. Lalu akibatnya, kitab suci Al-Qur'an mereka nodai dengan pemelintiran makna ayat dan penyelewangan takwil atau mengalihkan makna ayat secara sesat. Persis seperti kelakuan para Yahudi di masa lalu yang menyelewengkan ayat-ayat Taurat. Dan masih banyak lagi penyimpangan-penyimpangan yang bisa kita lihat, yang intinya penyimpangan itu membuat orang-orang yang mengikuti ajaran itu menjadi sesat dan mereka semua hancur, punah dan masuk neraka.

Insyaa Allah, fokus pembahasan hari ini adalah kesalah pahaman ummat Islam terhadap makna hadits 73 golongan tersebut. Para ulama menyebutkan ada beberapa kesalah pahaman dalam memaknai hadits-hadits tersebut di atas. Lima (5) diantaranya adalah sebagai berikut:
1.    Rasulullah SAW betul mengatakan ummatku akan terbagi menjadi 73 kelompok atau golongan, tapi Nabi SAW tidak pernah menyebutkan siapa-siapa saja yang 72 kelompok selain Al-Jama'ah yang disebutkan. Jadi terjadi kesalahan pahaman bahwa angka 73 tersebut adalah secara kuantitatif; di nomor 1 kelompok A, nomor 2 kelompok B dan seterusnya sampai 73. Pernah ada yang mencoba membuat list kelompok atau golongan yang 72 ini, tetapi belum selesai list dibuat jumlah kelompok yang menyimpang ini terus bertambah, berganti dan hilang timbul silih berganti melebihi angka 73 tersebut sejak zaman Rasulullah SAW (khawarij) sampai sekarang ini (SIS), selama kurun 1400 lebih. Belum kalau dihitung sampai hari kiamat nanti.

Jadi pemahaman yang benar adalah angka 73 ini harus dipahami sebagai angka kualitatif, relatif lebih banyak dari perpecahan golongan Nasrani dan Yahudi. Dalam bahasa Arab, penggunaan angka tujuh, tujuh puluh, tujuh ratus dst adalah menunjukkan ekpresi banyak secara kaulitatif. Di dalam surat At-Taubah ayat 80 Allah SWT berfirman: "Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja). Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampunan kepada mereka. Yang demikian itu adalah karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik" (QS 9:80).

Para mufasir menerangkan bahwa tidak berarti kalau Nabi SAW memohon ampun 71 kali, Allah akan mengampunkan mereka? Tidak, meskipun Nabi SAW memperbanyak permohonan ampunan untuk mereka, Allah tidak akan memaafkan mereka. Jadi angka tujuh puluh tiga (73) pada hadits-hadits di atas mempunyai makna yang tersirat sama dengan makna angka tujuh puluh (70) dalam surat At-Taubah ayat 80 ini. Di dalam Al-Qur'an terdapat banyak ayat yang mempunyai makna tersirat seperti ini. Contoh lain adalah Firman Allah SWT dalam surat Al-Israa' akhir ayat 72: "Dan barang siapa buta di dunia, maka di akhirat akan lebih buta dan jauh dari jalan kebaikan" (QS 17:72). Ayat ini bukan berarti orang buta secara fisik (tidak dapat melihat karena matanya rusak/buta) tetapi mempunyai makna yang tersirat yaitu buta mata hatinya.

2.    Rasulullah SAW menyebutkan dalam hadits-hadits di atas bahwa ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga (73) golongan. Kemudian Rasulullah SAW menyebutkan semuanya masuk neraka kecuali satu golongan saja atau yang selamat hanya satu golongan saja. Ini bukan berarti yang yang tujuh puluh dua (72) golongan adalah orang-orang kafir atau bukan ummat Nabi SAW atau non-Muslim. Ini bukan antara Muslim dan non-Muslim, tetapi golongan dalam ummat Muslim sendiri. Karena Nabi SAW menyebutkan "ummaku", berarti semuanya (73) baik yang tujuh puluh dua (72) maupun yang satu (1) adalah adalah Nabi Muhammad SAW. Jadi yang tujuh puluh dua (72) pun adalah kaum Muslim, tetapi mereka sudah melenceng atau tersesat dari aqidah Islam yang lurus - bukan kafir (dan/atau penyembah berhala). Karena kafir (dan/atau penyembah berhala) adalah orang-orang yang menolak aqidah Islam, berarti menolak Allah dan menolak Nabi Muhammad SAW, jadi kafir (dan/atau penyembah berhala) bukan ummat Nabi Muhammad SAW. Dan mereka (72 golongan tersebut) juga bukan Yahudi atau Nasrani, karena Beliau SAW juga menyebutkan perpecahan kaum Yahudi dan perpecahan kaum Nasrani secara terpisah di dalam hadits tersebut.

Jadi 72 golongan yang berpecah atau tersesat tersebut adalah ummat Nabi Muhammad SAW atau kaum Muslim juga. Dalam hal bermu'amalah, sebagai kaum Muslim kita wajib memperlakukan dan mereka berhak mendapat perlakukan sebagai saudara seiman, seperti menjawab salam, menyalatkan jenanzah mereka, amal ma'ruf nahi mungkar (saling menasehati dalam kebaikan dan mencegah kemungkaran), dan lain-lain. Tetapi dalam hal keyakinan kita (ummat Islam yang satu atau ahlul sunnah wa jama'ah) berlepas tangan dari 72 golongan tersebut.

Di dalam siirah Rasulullah SAW sudah pernah kita bahas bagaimana Rasulullah SAW membiarkan Dzul Khuwaishirah at Tamimi al Najdi (cikal bakal khawarij) berlalu (pergi) setelah mencela Rasulullah SAW agar berlaku adil, bahkan Nabi SAW mencegah Umar RA membunuhnya saat itu. Tetapi jika orang-orang khawarij atau 72 golongan yang telah melenceng ini jika menggagu ummat Muhammad SAW yang mayoritas (Al-Jama'ah), maka Nabi SAW menyebut "Seandainya aku masih mendapati mereka, akan kumusnahkan mereka seperti musnahnya kaum 'Ad" (HR sahih Bukhari No. 3341, shahih Muslim No. 1765 dan lain-lain). Begitu pulalah yang dilakukan para Sahabat RA sepeninggalan Nabi SAW, seperti kutipan Ali RA berikut: "Kalian (khawarij) memiliki 3 hak di hadapan kami, [1] kami tidak melarang kalian untuk shalat di masjid ini, [2] kami tidak menghalangi kalian untuk mengambil harta rampasan perang, selama kalian ikut berjihad bersama kami, [3] kami tidak akan memerangi kalian, hingga kalian memerangi kami."

3.    Menganggap ummat Nabi SAW yang masuk neraka atau yang sesat adalah mayoritas dan yang masuk surga atau yang lurus adalah minirotas. Karena dalam anggapan sebagian orang bahwa 72 dibagi 73 jauh lebih besar dari 1 dibagi 73. Atau dalam perpesfektif relatif jumlah golongan ummat Nabi Muhammad SAW, katakan X-golongan, maka 1 dibagi X-golongan jauh lebih kecil dibandingan dengan (X-1) golongan dibagi dengan X-golongan. Bahkan pemahaman golongan yang lurus yang minoritas dipakai atau digunakan kelompok-kelompok untuk menyebut atau mengklaim diri golongan merekalah yang benar sesuai hadits-hadits tersebut di atas.

Ini merupakan kesalah pahaman yang jauh lebih fatal dibandingkan dua kesalah pahaman sebelumnya. Karena di dalam Al-Qur'an dan Hadits, menyebutkan sebaliknya. Firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 175: "Orang-orang yang beriman kepada Allah dan kerasulan Muhammad serta berpegang teguh pada agamanya, maka Allah akan memasukkan mereka ke dalam surga di akhirat kelak, dan akan memberi mereka rahmat serta karunia yang luas. Sedang di dunia, mereka akan diberi petunjuk ke jalan yang lurus" (QS 4:175). Bagaimana mungkin Rahmat Allah serta karunia yang sangat luas hanya menghasil segelintir (minoritas) orang mukmin saja, ummat Nabi Muahammad SAW di jalan yang lurus dan yang kelak masuk surga ini? Yang benar adalah Ummat Nabi Muhammad yang lurus yang masuk surga ini pasti mayoritas – bukan minoritas.

Begitu juga di dalam beberapa hadits yang sudah kita bahas sebelumnya dalam siirah Nabi Muhammad SAW. Disebutkan dalam hadits bahwa Allah menunjukkan (Nabi SAW) semua ummat dan beliau melihat sekumpulan manusia yang sangat banyak sejauh mata memandang. Nabi SAW bertanya "mungkin ini adalah ummatku?" Beliau diberitahu bahwa itu bukan ummat Nabi SAW tetapi ummat Musa AS. Kemudian beliau melihat sekumpulan manusia yang lebih besar dari itu, yang memenuhi cakrawala. Nabi SAW diberitahu bahwa inilah Ummat beliau. Dalam hadits lain dikatakan kepada para sahabat "Maukah kalian (ummat Nabi Muhammad SAW) menjadi 1/4 dari penduduk Surga?" Mereka menjawab "Allahu Akbar!" Kemudian beliau berkata "Maukah kalian menjadi 1/3 dari penduduk Surga?" Mereka menjawab "Allahu Akbar!" Nabi SAW kemudian berkata "Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNYA, sesungguhnya aku mengharapkan agar kalian menjadi 1/2 dari penghuni Surga" (HR sahih Bukhari No. 3099, shahih Muslim No. 327 dan lain-lain). Di hadits lainnya Nabi SAW menyebutkan bahwa pada hari kiamat jumlah kalian (ummat Nabi Muhammad SAW) adalah sebanyak 2/3 bagian (80 baris per 120 baris) penduduk Surga (HR musnad Ahmad 21862).

Padahal saat Nabi Muhammad SAW berbicara tentang hal ini, dimana saat itu hanya baru ada 1 (satu) kota Madinah yang dihuni oleh Ummat Nabi Muhammad SAW yang lurus. Nabi Muhammad SAW menyampaikan berita gembira (dari Allah SWT) ini dihadapan puluhan sahabat RA dari sekitar 1500 Muslim yang ada saat itu di seluruh jazirah Arab (Madinah dan Makkah). Bandingkan dengan sekitar 2-3 jutaan orang Kristen (penganut Trinitas) dan 100 ribuan orang Yahudi (di semenanjung Arabia) ketika itu. Apakah kita mendustakan perkataan Nabi Muhammad SAW tersebut dengan mengatakan bahwa golongan yang lurus, ahlul sunnah wal jama'ah adalah minoritas? Naudzu billahi min zalik.

Bagaimana mungkin Ummat Islam akan menjadi mayoritas penduduk surga kalau bukan berasal dari ummat Islam yang juga mayoritas di dunia? Tidak mungkin ummat Muslim yang minoritas yang hanya sedikit di dunia akan menjadi mayoritas di surga nanti. Tidak mungkin golongan yang lurus atau ahlul sunnah wa jama'ah atau Al-Jama'ah pada hadits-hadits Nabi SAW tersebut di atas diartikan sebagai minoritas. Tetapi sebaliknya bahwa golongan yang lurus atau ahlul sunnah wa jama'ah atau Al-Jama'ah pada hadits-hadits Nabi SAW tersebut di atas harus diartikan sebagai Mayoritas.

Jadi pemahaman yang benar adalah bahwa jumlah pengikut dari 72 golongan atau X-golongan yang berpecah atau melenceng tersebut hanya segelintir orang saja, jauh lebih sedikit dibandingkan dengan 1 golongan pengikut Nabi Muhammad SAW yang lurus atau ahlul sunnah wa jama'ah atau Al-Jama'ah yang disebutkan pada hadits-hadits Nabi SAW tersebut di atas.

4.    Kesalah pahaman yang berikutnya adalah bahwa semua pengikut golongan yang tujuh puluh dua (72) yang berpecah atau menyimpang tersebut pasti masuk neraka sementara semua pengikut golongan yang satu (1) yang lurus ahlul sunah wa jama'ah pasti masuk surga. Meskipun frasa atau kalimat terakhir dari hadits-hadist tentang 73 golongan ummat Nabi Muhammad SAW menyebutkan begitu dan meskipun ada sebagian ulama yang masih meragukan kesahihan frasa terakhir ini. Tetapi makna dari kalimat "semuanya masuk neraka kecuali satu golongan saja" harus dilihat berdasarkan amal ibadah per orang atau individu bukan sebagai golongan atau kelompok. Maksudnya seseorang dari golongan yang lurus bisa saja masuk neraka karena amal perbuatannya yang lain dan seseorang dari 72-golongan bisa saja masuk surga karena amal perbuatannya yang lain. Sesungguhnya Rahmat Allah SWT mendahului murkaNya.

Firman Allah SWT berikut menunjukan bahwa seseorang dihisab berdasarkan amalannya. Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula (QS 99:7-8). Barangsiapa yang datang dengan (membawa) kebaikan, maka baginya (pahala) yang lebih baik daripada kebaikannya itu; dan barangsiapa yang datang dengan (membawa) kejahatan, maka tidaklah diberi pembalasan kepada orang-orang yang telah mengerjakan kejahatan itu, melainkan (seimbang) dengan apa yang dahulu mereka kerjakan (QS 28:84).

Firman Allah SWT berikut menerangkan gugurnya pahala sedeqah, surat Al-Baqarah awal ayat 264: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian (QS 2:264).

Hadits berikut menjelaskan bahwa Rahmat Allah mendahului atau mengalahkan murkaNya. Nabi Muhammad SAW berkata, "Tatkala Allah menciptakan makhluk-Nya, Dia menulis dalam kitab-Nya, yang kitab itu terletak di sisi-Nya di atas 'Arsy, "Sesungguhnya rahmat-Ku lebih mengalahkan kemurkaan-Ku" (HR sahih Bukhari No. 2955, shahih Muslim No. 4939 dan lain-lain).

Jadi janganlah kita memvonis seseorang tidak berdasarkan ilmu atau berdasarkan pengetahuan yang sangat sedikit karena Allah maha mengetahui, apa lagi apa-apa yang tidak diketahui makhlukNya. Firman Allah SWT berikut menggambarkan betapa luasnya Rahmat Allah, Allah Azza wa Jalla mengampuni pada hamba-Nya yang pernah melakukan kemaksiatan kepada Allah, selama hamba tersebut mau bertaubat. Allah SWT berfirman dalam surat Az-Zumar ayat 53: "Katakanlah: Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (QS 39:53).

5.    Kesalah pahaman yang terakhir adalah bahwa melegalkan perpecahan karena hadits ini menyebutkan ummat Nabi Muhammad akan berpecah menjadi 73 golongan. Atau sedikit-sedikit menganggap orang berbeda pemahaman dengan yang dia pahami adalah bukan dari golongan ahlul sunnah wal jama'ah. Di awal sudah kita sebutkankan bahwa perpecahan terjadi karena perbedaan ushuliyyah atau pokok aqidah bukan pada furu'iyyah atau cabang-cabang aqidah. Sementara berbeda pendapat atau ikhtilaf diantara fuqaha seperti berbedanya pemahaman imam mazhab adalah perbedaan furu'iyyah - tidak mencapai perbedaan ushuliyyah yang menyebabkan perpecahan dari Al-Jama'ah.

Terutama buat kita sebagai ummat Islam (awam) yang tidak memunyai autorisasi untuk mengeluarkan fatwa atau melakukan ijtihad, perbedaan golongan tidak ada artinya selagi kita mengikuti salah satu mazhab, atau berusaha mengikuti aqidah Islam Al-Jama'ah (mayoritas) atau ahlul sunnah wal jama'ah atau minimal kita sama-sama berusaha mengamalkan aqidah Islam sesuai dengan rukun Iman yang enam. Karena beriman kepada Allah Azza wa Jalla, bukan dengan menjadi pengikut dari salah satu firqah, millah, majlis, golongan, organisasi atau kelompok-kelompok pengajian tertentu.

Firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 177: Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (QS 2:177)

Jadi hadits 73 golongan ini sebenarnya mengajak semua ummat Nabi Muhammad SAW untuk bersatu menjadi Al-Jama'ah bergabung dengan mayoritas ummat bukan sebaliknya. Secara terminologi, ummat mempunyai makna jama'ah dan jama'ah mempunyai makna berkumpulnya orang banyak atau mayoritas. Firman Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 103: Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk (QS 3:103).

Sebelum kita tutup, ingatlah perintah Allah dalam surat Al-An'am ayat 153 bahwa golongan yang selamat hanya satu dan jalan yang selamat menuju Allah juga hanya satu: "dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa" (QS 6:153).

Bila ummat Islam ingin selamat dunia dan akhirat, maka mereka wajib mengikuti jalan yang telah ditempuh oleh Rasulullah SAW dan para Shahabat RA yaitu jalan ahlul sunnah wal jama'ah atau jalan mayoritas ummat Islam. Mudah-mudahan Allah Azza wa Jalla membimbing kita ke jalan selamat dan memberikan hidayah taufiq untuk mengikuti jejak Rasulullah SAW dan para Shahabatnya. Semoga Allah SWT melunakkan hati saudara-saudara kita dan bisa menerima kekurangan sesama saudaranya. Aamiin yaa Rabb al'aalamiin.

Demikian kita cukupkan sampaikan disini. Insyaa' Allah minggu depan akan kita lanjut lagi dengan pembahasan lain. Kalau ada yang salah, itu semua berasal dari saya sebagai makhluk yang tidak luput dari salah, tolong dikoreksi semua kesalahan tersebut. Saya memohon ampun kepada Allah Azza wa Jalla atas semua kesalahan dan kekhilafan dalam tulisan ini. Semua yang benar berasal dan milik Allah yang Maha Mengetahui.

Maha suci Engkau yaa Allah, dan segala puji bagi-Mu. Saya bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah (dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah). Saya mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu yaa Allah.

Semoga bermamfa'at, wallahu a'lamu bish-shawaabi.

Wassalam

Sabtu, 09 Juli 2016

Bil-waalidaini ihsaanan

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuhu.

بسمِ اللهِ الرّحمٰنِ الرّحيمِ

Alhamdulillahi Rabb al'aalamiina. Sungguh hanya kepada Allah SWT saja kita ucapkan puji dan syukur atas segala ni'mat yang senantiasa Allah limpahkan kepada kita semua. Salawat dan salam kepada tauladan yang mulia, Nabi dan Rasulullah Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wassalam (SAW) beserta keluarga, para sahabat RA, tabi'in, tabiut tabiahum dan kepada ummat Islam sepanjang masa dimanapun berada. Semoga kita semua istiqamah menegakkan agama Islam sampai akhir hayat nanti, aamiin yaa Rabb al'aalamiin.

Insyaa Allah hari ini akan kita bahas dan sharing tentang "Bil-waalidaini ihsaanan" yaitu perintah berbuat baik, mematuhi dan/atau menghormati kepada kedua orang Ibu-bapak. Di dalam Al-Qur'an ketika Allah SWT mengingatkan atau memerintahkan ummat Manusia untuk mematuhi-Nya dan memuja-Nya atau melarang menyekutui-Nya, biasanya diikuti dengan petunjuk untuk mematuhi, menghormati atau berbuat baik kepada kedua orang Ibu-Bapak. Dan perintah berbuat baik, mematuhi dan/atau menhormati kepada kedua orang Ibu-Bapak itu kepada seluruh ummat Manusia, kepada ummat para Nabi – bukan kepada ummat Nabi Muhammad SAW saja.

Di dalam surat Al-Baqarah ayat 83 Allah SWT berfirman "Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling" (QS 2:83).

Sebelumnya marilah kita lihat dulu istilah atau kata yang dipakai di dalam Al-Qur'an untuk menyebut kedua orang tua atau Ibu-Bapak, yaitu kata waalidaana (وَالِدَانَ). Kata waalidaana (والدان) ini berasal merupakan jamak dari kata waalid (وَالِد) yang berarti Bapak dan waalidah (وَالِدَة) yang berarti Ibu. Sementara kata waalid (والد) dan waalidah (والدة) ini berasal dari akar kata yang sama yaitu walada (وَلَدَ) yang berarti memberi kelahiran - to give birth (to). Sedangkan anak dalam bahasa Arab disebut walad (وَلَد) dan jamaknya aulaad (أولاد) yang berasal dari akar kata yang sama dengan waaladaana (والدان) yaitu walada (ولد). Jadi kata waalidaana (والدان) bisa berarti kedua orang tua atau Ibu-Bapak - parents.

Perintah Allah SWT untuk menyembahnya atau tidak menyekutukan Allah Azza wa Jalla adalah kewajiban setiap ummat Manusia. Dan Allah Azza wa Jalla menggandengkan perintah tersebut dengan berbuat baik, mematuhi dan/atau menghormati kedua orang tua Ibu-Bapak juga kewajiban setiap ummat Manusia – bukan perintah kepada ummat Islam atau orang beriman saja.  

Di dalam surat An Nisa ayat 36 Allah SWT berfirman: Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri (QS 4:36).

Berbuat baik, mematuahi dan/atau berbakti kepada kedua orang tua Ibu-Bapak juga merupakan amalan shalih(ah) atau paling utama yang paling dicintai oleh Azza wa Jalla. Suatu ketika sahabat Abdullah bin Mas'ud RA bertanya kepada Nabi SAW yang terdapat dalam hadits shahih Bukhari No. 496, shahih Muslim No. 122 dan lain-lain. Abdullah bin Mas'ud RA bertanya "Wahai Rasulullah SAW, amalan apakah yang paling dicintai Allah?" Rasulullah SAW menjawab "Shalat pada waktunya". Abdullah bin Mas'ud RA bertanya lagi "Kemudian apa lagi?" Rasulullah SAW menjawab "Berbakti kepada kedua orang tua". Abdullah bin Mas'ud bertanya lagi "Kemudian apa lagi?" Rasulullah SAW menjawab "Jihad di jalan Allah".

Di dalam hadits lain jelas sekali bahwa berbakti, mematuhi, menghormati dan/atau berbuat baik kepada kedua orang tua Ibu-Bapak lebih tinggi derajatnya dari atau disamakan derajatnya dengan atau dapat menggugurkan perintah jihad di jalan Allah jika kedua orang tua masih hidup. Di dalam hadits shahih Bukhari No. 2782, shahih Muslim No. 4623 dan lain-lain disebutkan bahwa seorang laki-laki datang menemui Rasulullah SAW minta izin hendak ikut berjihad (berperang). Lalu Nabi SAW bertanya kepadanya "Apakah kedua orang tuamu masih ada?" Laki-laki tersebut menjawab "Masih!" Rasulullah SAW berkata "Berbakti kepada keduanya adalah jihad".

Bahkan ketika kedua orang tua sudah meninggalpun Nabi SAW masih menyuruh kita untuk berbakti kepada kedua almarhum orang tua dengan cara menjaga silaturahmi dengan atau menghormati saudara dan/atau sahabat atau kerabat dekat kedua orang tua. Dalam hadits riwayat shahih Muslim No, 4631, sunan Abu Daud No. 4477 dan lain-lain bahwa Rasulullah SAW berkata "Di antara bakti seseorang yang paling baik kepada orang tuanya adalah menyambung tali silaturahmi (keluarga karib) orang tuanya setelah orang tuanya meninggal dunia."

Tetapi sebaliknya durhaka kepada kedua orang tua adalah merupakan dosa-dosa besar, sama dengan dosa syirik (menyekutukan) Allah Azza wa Jalla dan membunuh. Rasulullah SAW bersabda "Dosa-dosa besar itu adalah menyekutukan Allah Azza wa Jalla, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh dan sumpah palsu" (HR shahih Bukhari No. 2459, shahih Muslim No. 127 dan lain-lain).

Jangankan mendurhakai, mengatakatan "ah" atau "cis" saja apalagi membentak (yang dikategorikan sebagai sifat durhaka) kepada kedua orang tua dilarang oleh Allah Azza wa Jalla seperti Firman Allah dalam surat Al-Isra' akhir ayat 23: Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia (QS 17:23).

Meskipun Allah Azza wa Jalla telah mewajibkan ummat Manusia berbuat baik kepada kedua orang tua, tapi Allah Azza wa Jalla melarang kita mengikutinya (kedua orang tua) jika mereka menyuruh bahkan dengan paksaan sekalipun untuk menyektukan Allah Azza wa Jalla. Satu-satunya Firman Allah untuk larangan mengikuti paksaan orang tua untuk syirik ini terdapat dalam surat Al-Ankabut ayat 8. "Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan" (QS 29:8).

Jadi kita tidak boleh lupa bahwa mematuhi hak-hak Allah SWT adalah wajib, tetapi hak-hak manusia juga harus diperhatikan.  Dari semua manusia, hak-hak Ibu-Bapak adalah yang terpenting. Allah SWT telah memerintahkan dan menekankan manusia untuk memperlakukan kedua Ibu-Bapaknya dengan hormat dan mulia.  Dari kedua orang tua Ibu-Bapak, Ibu mendapat hak lebih besar daripada Bapak. Allah berfirman dalam surat Al-Ahqaf ayat 15 sebagai berikut.

Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri" (QS 46:15).

Disamping itu Nabi SAW juga bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh shahih Bukhar No. 5514, shahih Muslim No. 4621 dan lain-lain bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW "Yaa Rasulullah SAW, siapakah orang yang paling berhak atas atau dengan kebaktianku?" Rasulullah SAW menjawab "Ibumu!" Laki-laki tersebut bertanya lagi "Kemudian siapa?" Rasulullah SAW menjawab "Ibumu!" Laki-laki tersebut bertanya lagi "Kemudian siapa?" Rasulullah SAW menjawab "Ibumu!" Laki-laki tersebut bertanya lagi "Kemudian siapa?" Rasulullah SAW menjawab "Kemudian Bapakmu!"

Sebelum kita tutup, Qurtubi menyebutkan kejadian menarik yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah RA. Seseorang menghampiri Nabi Muhammad SAW dan mengeluh bahwa Bapaknya telah mengambil alih seluruh hartanya. Nabi Muhammad SAW bersabda kepadanya, "Jemputlah Bapakmu kesini."  Sementara itu Malaikat Jibril AS menghampiri Nabi Muhammad SAW dan berkata "Bila Bapaknya telah datang, tanyakan kepadanya tentang kata-kata yang diucapkan dalam hatinya bahkan telinganya sendiripun tidak dapat mendengarnya." 

Ketika laki-laki muda itu membawa Bapakya, Nabi Muhammad SAW bertanya, 'Kenapa anakmu mengeluh bahwa kamu telah menguasai seluruh hartanya?" Sang Bapak meminta Nabi SAW "Tanyakanlah kepada anakku untuk apakah aku menggunakan uangnya selain untuk membiayai kebutuhan bibinya dan diriku?" Nabi SAW bersabda, "Cukup, semua sudah jelas bagiku." Nabi SAW bertanya kepada sang Bapak, "Kata-kata apakah yang selalu kau ucapkan di dalam hati yang bahkan telingamupun tak dapat mendengarnya?"

Sang Bapak heran mendengar ini dan menjawab "Sesungguhnya ini adalah mukjizat bahwa engkau mengetahui hal ini.  Memang saya selalu mengucapkan satu puisi di dalam hati, sehingga bahkan telingakupun tidak dapat mendengarnya."  Nabi SAW kemudian memerintahkannya untuk membacakan puisi itu.  Bapak ini kemudian membacakan sebuah puisi dalam bahasa Arab yang indah.  Terjemahan puisi itu adalah sebagai berikut:

Aku memberimu makan dimasa kecilmu dan mendukungmu bahkan ketika kau telah mencapai usia remaja.  Seluruh biaya hidupmu ditanggung oleh punggungku.
Aku sering terbangun semalaman dan sangat gelisah bila kau sedang sakit.  Seolah-olah sakitmu adalah sakitku, dan aku menangis sepanjang malam.
Ketakutan atas kematianmu selalu menghantuiku walaupun aku tahu bahwa maut hanya akan terjadi pada saat yang ditentukan dan tidak bisa dihindari sama sekali.
Ketika kau mencapai usia dewasa, sesuatu yang kudambakan, biasanya kau berlaku keras dan mengucapkan kata kasar kepadaku.  Engkau bersikap kepadaku seolah-olah kau telah berbaik hati padaku.
Sayang sekali, seandainya kau tidak mau memberikan hakku sebagai Bapakmu, sedikitnya kau bisa memperlakukanku sebagai tetanggamu.
Aku mengharap engkau paling sedikit bisa menunaikan tugasmu kepadaku bagaikan tetanggamu, dan tidak bertindak kikir dalam membelanjakan uangmu untuk keperluanku.

Setelah mendengarkan puisi yang menggetarkan ini Nabi Muhamamd SAW mencengkram leher laki-laki muda tersebut dan bersabda, "Pergi! Dan seluruh hartamu untuk Bapakmu!"

Semoga Allah SWT menumbuhkan hormat kita yang tulus bagi Ibu-Bapak kita di dalam hati kita dan menunjukkan kasih sayangNya kepada mereka seperti Ibu-Bapak kita menunjukkan kasih sayangnya kepada kita ketika kita masih kecil. Ya Allah SWT, kasihanilah kedua Ibu-Bapak kami sebagaimana mereka mengasihani kami sedari kecil. Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan kedua ibu bapak kami dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat). Aamiin yaa Rabb al'aalamiin.

Demikian kita cukupkan sampaikan disini. Insyaa' Allah minggu depan akan kita lanjut lagi dengan pembahasan lain. Kalau ada yang salah, itu semua berasal dari saya sebagai makhluk yang tidak luput dari salah, tolong dikoreksi semua kesalahan tersebut. Saya memohon ampun kepada Allah Azza wa Jalla atas semua kesalahan dan kekhilafan dalam tulisan ini. Semua yang benar berasal dan milik Allah yang Maha Mengetahui.

Maha suci Engkau yaa Allah, dan segala puji bagi-Mu. Saya bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah (dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah). Saya mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu yaa Allah.

Semoga bermamfa'at, wallahu a'lamu bish-shawaabi.


Sabtu, 02 Juli 2016

Catatan Tentang Zakat Fithr

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuhu.

بسمِ اللهِ الرّحمٰنِ الرّحيمِ

Alhamdulillahi Rabb al'aalamiina. Sungguh hanya kepada Allah SWT saja kita ucapkan puji dan syukur atas segala ni'mat yang senantiasa Allah limpahkan kepada kita semua. Salawat dan salam kepada tauladan yang mulia, Nabi dan Rasulullah Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wassalam (SAW) beserta keluarga, para sahabat RA, tabi'in, tabiut tabiahum dan kepada ummat Islam sepanjang masa dimanapun berada. Semoga kita semua istiqamah menegakkan agama Islam sampai akhir hayat nanti, aamiin yaa Rabb al'aalamiin.

Insyaa Allah hari ini akan kita bahas dan sharing beberapa catatan penting tentang Zakat Fithr yang mana sebentar lagi dan paling lambat sebelum shalat Iedul Fithr harus kita laksanakan. Sebagaimana kita ketahui bahwa membayarkan atau membelanjakan atau mengeluarkan harta (objek yang bernilai financial) di jalan Allah untuk tujuan beribadah kepada Allah Azza wa Jalla adalah kewajiban setiap ummat Muslim setelah memenuhi kriteria, baik setelah terpenuhi nisab (nilai) dan haul (waktu) dari objek zakat tersebut maupun yang memberikan zakat.

Kita (ummat Islam) mengenal tiga istilah yang sudah tidak asing lagi yaitu, infaq, sedekah atau shadaqah dan zakat atau zakaah atau zakaat. Infaq (berasal dari kata infaaqa – إنفاق) yang yang bermakna mengeluarkan atau membelanjakan harta (objek yang bernilai financial), baik di jalan Allah ataupun bukan – tetapi sebagai ummat Islam tentu kita membelanjakan harta kita di jalan (yang diridhai) Allah SWT saja. Nah, infaq yang khusus kita belanjakan atau kita keluarkan atau kita nafkahkan di jalan Allah Azza wa Jalla inilah yang disebut dengan atau bagian dari sedekah.

Firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 195 berikut memerintahkan kita untuk menginfaqkan harta kita dijalan Allah: Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik (QS 2:195). Sementara dalam surat At-Taubah ayat 53 berikut Allah Azza TIDAK menerima infaq orang-orang fasik (tidak fii sabilillah): Katakanlah: "Nafkahkanlah hartamu, baik dengan sukarela ataupun dengan terpaksa, namun nafkah itu sekali-kali tidak akan diterima dari kamu. Sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang fasik (QS 9:53).

Sedangkan sedekah berasal dari kata shadaqah (صدقة) yang mempunyai makna mirip dengan istilah infaq di atas, tetapi lebih spesifik, yaitu membelanjakan harta atau mengeluarkan dana dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah, yaitu maksudnya adalah ibadah atau amal shalih. Para ulama mendefinisikan sedekah lebih luas dari makna kata shadaqah sendiri, yaitu segala kebaikan, baik dalam bentuk jasa atau barang atau harta pemberian. Dan dilihat dari segi hukumnya, sedekah ada yang hukumnya sunnah dan ada yang hukumnya wajib.

Rasulullah SAW bersabda dalam hadits riwayat sunan Tirmidzhi No. 1879 bahwa "Senyummu kepada saudaramu merupakan sedekah, engkau berbuat ma'ruf dan melarang dari kemungkaran juga sedekah, engkau menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat juga sedekah, engkau menuntun orang yang berpenglihatan kabur juga sedekah, menyingkirkan batu, duri dan tulang dari jalan merupakan sedekah, dan engkau menuangkan air dari embermu ke ember saudaramu juga sedekah".

Lebih lanjut bahwa setiap usaha dengan tujuan mendekatkan diri kepada yang dihalalkan Allah Azza wa Jalla - dimana dengannya bisa mencegah kepada kedurhakaan - juga disebut sedekah. Hadits riwayat musnad Ahmad No. 20568: Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: Setiap jiwa di tiap matahari terbit harus mensedekahi dirinya, Beliau SAW melanjutkan sabdanya: Menyingkirkan duri dari jalan adalah sedekah, ucapan salammu pada manusia adalah sedekah, menyuruh pada kebaikan adalah sedekah, mencegah kemungkaran adalah sedekah, dan persetubuhanmu terhadap istrimu adalah berpahala. Kami (para sahabat RA) lantas bertanya, Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seorang yang melepas syahwatnya bisa menjadi sedekah? Beliau SAW menjawab: Ya, apa pendapatmu jika syahwat itu di letakkan di tempat yang Allah haramkan, bukankah itu akan menjadi dosa? Kami menjawab, Tentu. Beliau SAW bersabda: Demikian juga kalau diletakan pada sesuatu yang Allah halalkan, maka ia akan menjadi sedekah. Abu Dzar berkata, Beliau kemudian menyebutkan beberapa hal yang termasuk sedekah, beliau meneruskan sabdanya: Dan cukuplah sedekah-sedekah ini diwakili dengan mengerjakan dua rakaat shalat dhuha.

Adapun zakat berasal dari kata zakaah (زكاة) yang merupakan kata benda dari akar kata zakaa (زكا) yang berarti memurnikan, membersihkan dan mensucikan. Zakat adalah sedekah yang hukumnya wajib, yaitu mengeluarkan atau membelanjakan atau menafkahan harta (objek yang benilai finansial) di jalan Allah dalam rangka mendekatkan diri atau beribadah kepada Allah Azza wa Jalla. Jadi zakat harus merupakan harta atau objek yang bernilai finansial, merupakan kewajiban bagi ummat Muslim yang memenuhi kriteria, merupakan ibadah kepada Allah Azza wa Jalla dan merupakan salah satu dari rukun Islam. Untuk itu para ulama menetapkan kriteria atau tata caranya, baik nisab, haul, apa saja yang boleh dizakatkan dan siapa saja yang boleh menerima zakat berdasarkan nash (Al-Qur'an dan Hadits).

Firman Allah SWT dalam surat At-Taubah ayat 71: Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS 9:71).

Allah Azza wa Jalla menyuruh Nabi Muhammad SAW untuk mengambil zakat dari ummat Muslim untuk membersihkan dan mensucikan mereka sebagaimana Firman Allah SWT dalam surat At-Taubah ayat 103: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS 9:103).

Sementara Zakat Fithr, dinamakan zakat al-fithr (زكاة الفطر) karena terkait dengan bentuk harta yang diberikan kepada mustahiqnya, yaitu berupa makanan. Selain itu zakat ini dinamakan fithr juga karena terkait dengan wakatu atau hari ditunaikannya yaitu sebelum shalat hari lebaran yang bernama fithr atau Iedul Fithr, yang artinya hari raya fithr. Kata fithr berasal atau mengacu kepada kata fithr (فطر) yang artinya adalah makan, memakan atau berbuka. Kata fithr ini bila dibentuk menjadi kata lain, bisa menjadi ifthar (إفطار), yang maknanya adalah makan untuk berbuka puasa. Dan bisa diubah menjadi kata fathur (فطور), yang artinya sarapan pagi.

Namun demikian ada juga sebagian orang yang menyebutkan dengan zakat fitrah. Penyebutan ini sebenarnya kurang tepat, karena yang menjadi inti dari zakat ini memang makanan, dan bukan fitrah atau kesucian. Karena fitrah (فطرة) adalah hasil atau balasan dari zakat fithr tersebut, yang merupakan harapakan kita kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu semoga Allah Azza membersihkan dan mensucikan kita dari dosa-dosa kita seperti makna dari surat At-Taubah ayat 103 di atas.

Catatan pinggir bahwa kata fitrah berasal dari bahasa Arab fithrah (فطرة) berarti suci, alami atau original. Dalam surat Ar-Rum ayat 30 ( … tetaplah atas Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia …), dimana kata fithrah (فطرة) tidak diterjemahkan dan dipakai untuk menunjukkan ke-Fitrah-an Allah Azza wa Jalla. Di dalam hadits shahih Bukhari No. 1271, shahih Muslim No. 4805 dan lain-lain bahwa kata Fithrah juga bisa diartikan sebagai Islam atau Muslim. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam berkata: Tidak ada seorang anak pun yang terlahir kecuali dia dilahirkan dalam keadaan Fithrah (Muslim atau Islam). Maka kemudian kedua orang tuanyalah yang akan menjadikan anak itu menjadi Yahudi, Nashrani atau Majusi.

Jadi zakat fitrah adalah istilah yang hanya dipakai didalam bahasa Indonesia atau di Indonesia saja dalam menyebut atau yang mengacu kepada zakat fithr. Adapun dalam kajian ilmu fiqih tetap menggunakan istilah zakat fithr atau zakat ul-fithri (زكاة الفطر). Penggunaan di negara-negara lain bisa jadi berbeda atau tetap menggunakan terminologi yang sama dengan ilmu fiqih yaitu zakat fithr. Wallahu a'lam bishshawab.  

Sebelum kita lanjut, kita bahas dulu sedikit tentang istilah yang digunakan para ulama mujtahid dalam menentukan atau menetapkan hukum dari suatu masalah furu' (cabang). Para ulama  berpedoman pada dalil nash (Al-Qur'an dan Hadits) yang qaht'i (mutlak, pasti atau tetap) tidak zhanni (relatif atau kira-kira) kebenaran atau kesahihan dalil tersebut baik secara tsubut (validitas) maupun secara dilalah (impelementasi). Kalau tidak ada dalil nash qath'i secara tsubut dan dilalah, baru para ulama melakukan ijtihad dari dalil nash yang qath'i secara tsubut tapi zhanni secara dilalah, dan seterusnya yang mana masing-masing ulama bisa saja memperoleh pendapat yang berbeda dengan ulama lain atau terjadi ikhtilaf dan/atau ikhtilaaf diantara para ulama.

Berdasarkan nash yang qath'i secara tsubut dan dilalah para ulama sepakat tentang kewajiban zakat secara umum (termasuk zakat fithr), adalah wajib sebagaimana Firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah awal ayat 110: Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Adapun kewajiban zakat fithr, yaitu berdasarkan hadits shahih Bukhari No. 1408, shahih Muslim No. 1635 dan lain-lain bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mewajibkan (فَرَضَ) zakat (زَكَاةَ) fithri (الْفِطْرِ) satu sha' dari kurma atau sha' dari gandum bagi setiap hamba sahaya (budak) maupun yang merdeka, laki-laki maupun perempuan, kecil maupun besar dari kaum Muslimin. Dan Beliau SAW memerintahkan agar menunaikannya sebelum orang-orang berangkat untuk shalat ('Ied).

Berdasarkan hadits tersebut di atas dalam hal batas akhir waktu wajib menunaikan zakat fithr juga qath'i secara tsubut dan dilalah. Para ulama juga sepakat bahwa batas akhir waktu wajib pelaksanaan atau menunaikan zakat fithr(i) tersebut adalah sebelum berangkat shalat Iedul Fithri – tidak terjadi perbedaan pendapat mengenai batas akhir kewajiban pelaksanaannya. Meskipun hadits tersebut qath'i secara tsubut dan dilalah dalam menentukan batas akhir waktu wajib menunai zakat fithr, tetapi hadits tersebut tidak menyebutkan kapan mulai atau awal waktu wajib membayar zakat fithri, jadi zhanni (relatif) secara dilalah (implementasi) dalam hal awal waktu wajib menunaikan zakat fithri. Dengan demikian para ulama berbeda pendapat tentang kapan waktu wajib mulai untuk menunaikan zakat fithri? Ada ulama yang berpendapat sa'at setelah terbenam matahari hari terakhir bulan Ramadhan, tetapi ada juga yang berpendapat setelah matahari terbit pada hari raya Iedul Fithri.

Berdasarkan hadits di atas jenis makanan yang disebutkan secara zahir adalah atau cuma kurma atau tamrin (تمر) dan gandum atau sya'iir (شعير). Jadi dalam hal jenis makanan, hadits tersebut zhanni secara dilalah, karena kata yang digunakan adalah kurma dan gandum – tidak menyebutkan jenis makanan lain. Tetapi di dalam hadits lain yaitu shahih Bukhari No. 1410, shahih Muslim No. 1640 dan lain-lain bahwa sahabat (Abu Said Al-Khudri RA) berkata mengeluarkan zakat fithri satu sha' dari makanan (طعام) atau satu sha' dari gandum atau satu sha' dari kurma atau satu sha' dari keju atau aqithin (أقط) atau satu sha' dari kismis atau zabiibin (زبيب). Berdasarkan hadits Sahabat RA ini kemudian jumhur ulama menganalogikan dari fungsinya bahwa jenis bahan makanan yang dizakatkan adalah dari semua jenis bahan makanan pokok.  Jadi makanan yang dikeluarkan adalah makanan pokok di negeri masing-masing, kalau di Indonesia adalah beras.

Para ulama juga berbeda pendapat mengenai berapa banyak takaran satu sha' tersebut kalau dikonversikan ke satuan atau ukuran berat atau volume yang berlaku sekarang. Mengingat sha' atau shaa' (صاع) adalah satuan takaran bukan timbangan maka sangat sulit dikonversikan  ke satuan berat atau volume. Satu (1) sha' di zaman Rasulullah SAW adalah satu sha' masyarakat Madinah saat itu yang setara dengan 4 (empat) mud, dimana mud adalah satuan cakupan dengan dua (2) telapak tangan normal yang digabungkan. Apalagi yang dibandingkan mempunyai berat jenis yang berbeda, yaitu satu sha' kurma tidak sama beratnya dengan satu sha' gandum.

Terlepas dari perbedaan pendapat berapa kilogram beras setara dengan satu sha' gandum atau kurma tersebut, para ulama Indonesia menetapkan satu sha' dibakukan menjadi 2,5 (dua stengah) kg beras yang merupakan perkiraan ukuran rata-rata atau pertengahan dari berbagai pendapat para ulama. Namun untuk kehati-hatian disamping kemudahan perhitungan, banyak juga ummat Islam Indonesia yang mengeluarkan zakat fithr berupa beras lebih dari berat yang dibakukan, yaitu 3 kg per orang per zakat fithr.

Seiring dengan perkembang zaman, kebutuhan ummat Islam dan perkembangan zakat fithr itu sendiri, terjadi beberapa penyesuaian dalam hal menunaikan atau membayarkan zakat fithr dengan nilai finansial dari objek zakat fithr. Kalau berdasarkan hadits Rasulullah SAW di atas, secara zahir yang disebutkan sebagai zakat fithr yaitu gandum dan kurma dengan takaran masing-masing satu sha'. Kemudian pada zaman sahabat RA, yang tadinya satu sha' kurma atau gandum, kemudian menjadi atau termasuk satu sha' bahan makanan (tha'aam) pokok lain seperti keju, kismis, atau jenis gandum lainnya (burrin). Terus para ulama Indonesia menganalogikan berdasarkan fungsinya dengan 2,5 kg beras. Meskipun sudah menjadi best praktis (praktek umum) di beberapa negara – baik negara-negara Timur Tengah (Arab) maupun di Indonesia sendiri - timbul pertanyaan boleh tidak satu sha' kurma atau gandum atau 2,5 kg beras tersebut dibayarkan dalam bentuk uang (nilai finansialnya)?

Ada tiga pendapat yang berbeda dan masing-masing pendapat mempunyai dalilnya sendiri-sendiri. Ada yang berpendapat tidak boleh berdasarkan zahir hadits-hadits di atas. Ada yang berpendapat boleh berdasarkan prinsip  terpenuhi kebutuhan fakir miskin pada hari raya dan agar mereka tidak meminta-minta pada hari itu (HR Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No.  7528). Sedangkan pendapatkan ketiga lebih flexible berdasarkan kedua dalil pendapat sebelumnya, yaitu boleh jika ada hajat dan maslahah; maksudnya tergantung situasi dan kondisi pada waktu dan tempat tertentu yang kebutuhan dan mamfa'at terbaik bagi ummat Islam (mustahiq maupun muzakki).

Menurut pendapat terakhir ini yang menjadi substansi adalah terpenuhinya kebutuhan mustahiq ketika hari raya dan jangan sampai mereka mengemis. Menurut pendapat ini, inilah tujuan syari'ah dari zakat fithr, yaitu memenuhi kebutuhan dan tidak minta-minta. Pemenuhan kebutuhan itu bisa saja dilakukan dengan memberikan  nilai dari kebutuhan pokoknya, atau juga dengan barangnya. Apalagi untuk daerah atau wilayah tertentu, bisa jadi mustahiq lebih membutuhkan uang dibanding makanan pokok. Tetapi pada daerah atau wilayah lain, bisa saja mustahiq lebih membutuhkan bahan makanan daripada uang. Hal ini sebenarnya sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan ummat Islam sendiri yang sudah semakin heterogen.

Menjadi bahan renungan kita (ummat Islam) bahwa di zaman globalisasi sekarang ini, ummat Islam sudah sangat heterogen. Dalam suatu masyarakat saja bisa jadi berbeda bahan makanan pokok, ada yang sudah terbiasa makan roti (gandum), ada yang sudah terbiasa makan nasi (beras), ada yang sudah terbiasa makan sayuran atau buah-buahan (kurma?), tapi ada juga yang sudah terbiasa cuman makan lauk atau daging saja. Mungkin kita berfikir apa saja bahan makanan yang muzakki zakatkan tentu harus (mau tidak mau) msutahiq terima atau makan? Tapi dengan dalil pemenuhan kebutuhan dan tidak minta-minta ini, penerapan (implementasi) syariat zakat fithr bisa mengikuti perkembang zaman. Jadi jangan khawatir bahwa syari'at Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW bisa exist sampai akhir zaman - tidak bakal ketinggalan zaman.

Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa berbeda (ikhtilaf) dan/atau perbedaan (ikhtilaaf) pendapat antara madzhab fiqh dalam Islam merupakan rahmat dan kemudahan bagi umat Islam untuk memilih pendapat yang sesuai dengan situasi dan kondisi ummat Islam pada waktu dan tempat yang tepat. Khazanah atau beragamnya kekayaan syariat yang besar ini adalah kebanggaan dan keunggulan atau izzah bagi umatnya.  Semoga menjadi ibrah atau pelajaran buat kita ummat Islam semua agar tidak sampai menyalahkan, menghujat, bahkan menyebut sesat atau kafir sesama ummat Islam sehingga tidak terjadi perpecahan ummat dan musuh-musuh Islam gembira karenanya. Semoga Allah melapangan dada kita (ummat Islam) -  baik yang sepaham maupun yang tidak sepaham – menerima perbedaan pendapat dari para ulama kita tersebut.

Demikian kita cukupkan sampai disini dulu. Insyaa' Allah minggu depan akan kita lanjut dengan episode lain. Kalau ada yang salah, itu semua berasal dari saya sebagai makhluk yang tidak luput dari salah, tolong dikoreksi semua kesalahan tersebut. Saya memohon ampun kepada Allah Azza wa Jalla atas semua kesalahan dan kekhilafan dalam tulisan ini. Semua yang benar berasal dan milik Allah yang Maha Mengetahui.

Maha suci Engkau yaa Allah, dan segala puji bagi-Mu. Saya bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah (dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah). Saya mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu yaa Allah.

Semoga bermamfa'at, wallahu a'lamu bish-shawaabi.