Sabtu, 25 Juni 2016

Bahkan Nabi dan Malaikat Berbeda Pendapat

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuhu.

Alhamdulillahi Rabbi al'aalamiina. Sungguh hanya kepada Allah SWT saja kita ucapkan puji dan syukur atas segala ni'mat yang senantiasa Allah limpahkan kepada kita semua. Salawat dan salam kepada tauladan yang mulia, Nabi dan Rasulullah Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wassalam (SAW) beserta keluarga, para sahabat RA, tabi'in, tabiut tabiahum dan kepada ummat Islam sepanjang masa dimanapun berada. Semoga kita semua istiqamah menegakkan agama Islam sampai akhir hayat nanti, aamiin yaa Rabb al'aalamiin.

Insyaa Allah hari ini kita coba melanjutkan pembahasan topik yang berkaitan dengan Ikhtilaf atau perselisihan atau perbedaan pendapat. Karena topik ini sangat penting buat kita sebagai ummat Islam kebanyakan (awam) untuk tidak saling menyalahkan, menghujat bahkan mengkafirkan sehingga terjadi perpecahan di antara ummat Islam sendiri.  Pada pembahasan sebelumnya sudah kita sebutkan bahwa ikhtilaf atau berselisih dan ikhtilaaf atau perselisihan pendapat adalah domain atau area atau ruang lingkup para ulama fiqih (fuqaha) – bukan ammat Islam kebanyakan (awam) - dalam rangka menetapkan suatu atau sebagian hukum islam yang bersifat furu'iyyah, bukan pada masalah hukum islam yang bersifat ushuliyyah (pokok-pokok hukum islam), disebabkan perbedaan pemahaman atau perbedaan metode dalam menetapkan hukum suatu masalah dan lain-lain.

Jadi ikhtilaf dan/atau ikhtilaaf adalah suatu hasil yang inherent (menyatu) - kalau tidak boleh dibilang suatu keniscayaan - dari proses memahami dan mengambil ketetapan hukum dari suatu case atau persoalan furu' (cabang) berdasarkan nash (Al-Qur'an dan Hadits) karena cara atau metoda atau wawasan atau kemampuan atau talenta dari para ulama fiqih berbeda-beda antara orang per orang - tidaklah sama satu sama lainnya. Makanya seringkali kita mendengar ceramah atau membaca tulisan yang terkait dengan kajian fiqih, kita dapati isinya merupakan penjabaran perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Bahkan tidak jarang disebutkan perbedaan menurut pendapat mazhab-A begini, menurut mazhab-B begitu, atau pendapat imam ini dan imam itu dan lain-lain ulama yang kompeten untuk melakukan ijtihad.

Lantas kenapa bisa terjadi berselisih atau berbeda pendapat dan/atau perselisihan atau perbedaan pendapat? Bukankah agama yang diridhai Allah cuman satu – agama Islam? Bukankah syariat Islam ini satu, yaitu syariat yang dibawa Nabi Muhammad SAW? Bukankah kebenaran Islam adalah satu (mutlaq) - tidak berbilang? Bukankah sumber wahyu Islam satu, yaitu dari Allah Azza wa Jalla? Kenapa terjadi perbedaan sehingga dalam satu masalah ada pendapat lebih dari satu; tidakah bersatu-pendapat antara madzhab akan lebih mudah buat ummat Islam kebanyakan (awam) untuk beramal dan beribadah - sehingga ummat Islam adalah umat yang satu, yaitu ummat Nabi Muhammad SAW?

Berbeda (ikhtilaf) dan/atau perbedaan (ikhtilaaf) pendapat antara madzhab fiqh dalam Islam merupakan rahmat dan kemudahan bagi umat Islam untuk memilih pendapat yang sesuai dengan situasi dan kondisi ummat Islam pada waktu dan tempat yang tepat. Khazanah atau beragamnya kekayaan syariat yang besar ini adalah kebanggaan dan keunggulan atau izzah bagi umatnya. Berbeda dan/atau perbedaan fuqaha hanya terjadi dalam masalah-masalah cabang (furu') dan ijtihad fiqh, bukan dalam masalah inti, dasar dan akidah (ushul). Seperti telah disebutkan sebelumnya dalam hadits bahwa Nabi Muhammad SAW menyebut orang yang memisahkan diri atau berpecah dari jama'ah (mayoritas) bukan ummat Nabi SAW dan Nabi SAW berlepas tangan atau bukan golongan dari ummatku (HR Syahih Muslim No. 3437, Sunan Nasa'i 4045 dan lain lain).

Jadi berbeda (ikhtilaf) pendapat atau perbedaan (ikhtilaaf) pendapat selagi tidak berpecah (iftiraq) dibolehkan dalam Islam. Bukan cuman para ulama (fuqaha) saja yang berbeda pendapat bahkan para sahabat pun juga berbeda pendapat meskipun masih ada Nabi Muhammad SAW bersama para sahabat untuk tempat bertanya dan kalau Nabi SAW tidak bisa menjawab, kadang wahyu turun untuk menengahi. Tetapi meskipun berbeda pendapat, para sahabat tidak disalahkan, tidak dimusuhi atau tidak dibilang sesat atau kafir oleh Nabi Muhammad SAW.

Sebagai mana ketahui bahwa para shahabat Nabi SAW adalah generasi terbaik, dimana status yang Allah SWT sandangkan kepada mereka tidak pernah diberikan kepada generasi yang lain, yaitu Radiyallahu 'Anhum (رَضِىَ اللهُ عَنهُم) = Allah ridha kepada mereka. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam surat At-Taubah ayat 100: Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar (QS 9:100).

Meskipun para sahabat mendapat keridhaan dari Allah SWT, tetapi tidak menjamin atau tidak menghalangi adanya perbedaan pendapat dalam memahami nash-nash syariah diantara para sahabat. Bahkan perbedaan itu bukan hanya terjadi selepas Rasulullah SAW wafat, bahkan ketika Beliau SAW masih berada di tengah-tengah mereka sendiri. Contoh yang paling sering diceritakan tentang perbedaan pendapat para sahabat ini adalah perintah shalat di perkampungan bani Quraizhah – Madinah, seperti yang terdapat dalam hadits shahih Bukhari No. 894, shahih Muslim No. 3317 dan lain-lain berikut.

Ketika kami (Sahabat RA) telah kembali dari perang Ahzab, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berseru kepada kami: Hendaklah tidak ada seorangpun yang melaksanakan shalat zhuhur kecuali jika ia telah sampai di tempat Bani Quraizhah. Lalu sebagian sahabat ada yang khawatir akan habisnya waktu shalat, sehingga mereka melaksanakannya sebelum memasuki daerah Bani Quraizhah. Sedangkan yang lainnya berkata, Kami tidak akan melaksanakan shalat kecuali pada tempat yang telah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pesankan untuk kami, meskipun waktu shalat telah habis. Abdullah berkata, Dan ternyata beliau tidak mencela salah satu dari kedua kelompok tersebut."
                                                            
Kenapa Nabi Muhammad SAW tidak menyalahkan kelompok mana pun? Karena keduanya telah melakukan ijtihad dan taat kepada perintah. Hanya saja, ada perbedaan dalam memahami teks sabda Beliau SAW. Dari hadits ini, jumhur ulama berpendapat atau mengambil kesimpulan bahwa tidak ada dosa atas mereka yang sudah berijtihad, karena Rasulullah SAW tidak mencela salah satu dari dua kelompok shahabat RA tersebut. Namun demikian para ulama fiqih berbeda pendapat siapa yang berhak mendapat pahala satu (yang salah ijtihadnya) dan siapa yang mendapat pahala dua (yang benar ijtihadnya).

Berbeda pendapat tidak saja terjadi antara para ulama, para imam dan para sahabat RA. Bahkan para sahabat ada yang berbeda pendapat dengan Rasulullah SAW. Kadang-kadang Rasulullah SAW setuju atau berada bersama para sahabat di pihak yang benar pendapatnya tapi kadang sebaliknya yaitu setuju atau berada bersama para sahabat yang ternyata salah pendapatnya karena belum ada wahyu dari Allah SWT tentang masalah tersebut. Kemudian diketahui atau ditengahi setelah wahyu turun, tetapi Allah SWT sama sekali tidak menyebut Nabi SAW dan para sahabat yang salah pendapatnya dengan berdosa atau sesat. Contoh yang paling sering kita dengar adalah tentang Tawanan Perang Badar.

Ketika kaum Muslim telah menang dari perang Badar, muncul keinginan di dalam diri Rasululah SAW untuk menghentikan peperangan dan menjadikan lawan sebagai tawanan perang. Tindakan itu didasari oleh banyak pertimbangan, selain itu juga karena saat itu belum ada wahyu dari Allah SWT. Maka nabi SAW bermusyawarah dengan para shahabatnya dan diambil keputusan untuk menawan dan meminta tebusan saja. Saat itu hanya satu orang yang berbeda pendapat, yaitu Umar bin Khattab RA. Umar RA tidak sepakat untuk menghentikan perang dan meminta agar Nabi SAW meneruskan perang hingga musuh mati semua. Tidak layak kita menghentikan perang begitu saja karena mengharapkan kekayaan dan kasihan.

Tentu saja pendapat Umar RA ini tidak diterima secara musyarawah dan Rasulullah SAW serta para shahabat RA tetap pada keputusan semula, hentikan perang dan meminta tebusan. Tidak lama kemudian turun wahyu yang membuat Rasulullah SAW gemetar ketakutan, karena ayat itu justru membenarkan pendapat Umar bin Khattab RA dan menyalahkan semua pendapat yang ada. Firman Allah SWT dalam surat Al-Anfal ayat 67-69 berikut.

Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil. Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS 8:67-69).

Para mufasir menyebutkan bahwa surat Al-Anfal ayat ke-67 ini telah dinashahkan dengan turunnya wahyu Allah SWT dalam surat Muhammad ayat ke-4 berikut: Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir. Demikianlah apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah hendak menguji sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain. Dan orang-orang yang syahid pada jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka (QS 47:4).

Berbeda dan/atau perbedaan pendapat juga terjadi diantara para Nabi dan Rasul utusan Allah SWT. Meskipun para Nabi dan Rasul memiliki kedudukan yang mulia serta mendapatkan 'ishmah (penjagaan) dari Allah SWT agar tidak tercebur ke dalam dosa, namun dalam prakteknya masih dimungkinkan para Nabi dan Rasul berbeda pandangan atau pendapat dengan sesama Nabi dan Rasul, yang sama-sama menjadi utusan Allah SWT.

Nabi Musa AS dan saudaranya sendiri, yaitu Nabi Harun AS, mereka berdua pernah berselisih dan berbeda pandangan tentang masalah kaumnya menyembah berhala sapi ketika ditinggal pergi memenuhi panggilan Allah di bukit Tursina. Nabi Musa AS meninggalkan kaum Yahudi bersama Nabi Harun AS. Seperti Firman Allah SWT dalam surat Thaha ayat 92 - 94 berikut.

Berkata Musa: "Hai Harun, apa yang menghalangi kamu ketika kamu melihat mereka telah sesat, (sehingga) kamu tidak mengikuti aku? Maka apakah kamu telah (sengaja) mendurhakai perintahku?" Harun menjawab' "Hai putera ibuku, janganlah kamu pegang janggutku dan jangan (pula) kepalaku; sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku): "Kamu telah memecah antara Bani Israil dan kamu tidak memelihara amanatku" (QS 20:92-94).

Atau dalam surat Al-A'raf ayat 150 berikut: Dan tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya dengan marah dan sedih hati berkatalah dia: "Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan sesudah kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului janji Tuhanmu? Dan Musapun melemparkan luh-luh (Taurat) itu dan memegang (rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil menariknya ke arahnya, Harun berkata: "Hai anak ibuku, sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir-hampir mereka membunuhku, sebab itu janganlah kamu menjadikan musuh-musuh gembira melihatku, dan janganlah kamu masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang zalim" (QS 7:150).

Penting untuk kita garis-bawahi bahwa Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS adalah bersaudara dan sama-sama diangkat menjadi Nabi untuk kaum yang sama, yaitu kaum Yahudi. Tetapi pola pendekatan antara Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS lakukan ternyata berbeda. Perbedaan pendapat antara Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS ini sampai atau berujung kepada aksi fisik, bahkan Nabi Musa AS menarik rambut dan jenggot Nabi Harun AS. Padahal kalau dipikir-pikir, Nabi Musa AS ini amat kuat fisiknya, dan pernah meninju orang dengan sekali pukulan hingga mati. Artinya, perbedaan pendapat antara Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS malah sampai kepada keributan fisik. Tetapi keduanya (Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS) tetap berkedudukan sebagai utusan Allah SWT.

Ternyata berbeda atau berselisih pendapat tidak saja monopoli manusia mulai dari para ulama, para imam mazhab, para sahabat, para Nabi dan Rasul utusan Allah SWT, tetapi para Malaikat-pun ada yang berselisih pendapat tentang tugas yang diberikan Allah Azza wa Jalla kepada Malaikat tersebut. Malaikat yang mulia dan tanpa hawa nafsu sekalipun tetap berbeda berselisih pendapat diantara mereka. Bayangkan, bahkan para Malaikat yang tidak punya kepentingan hewani, tidak punya perasaan, tidak punya kepentingan terpendam, tetap saja ditaqdirkan Allah SWT untuk berbeda pendapat.

Di dalam hadits riwayat shahih Bukhari No. 3211, shahih Muslim No. 4967 dan lain-lain bahwa Nabi SAW telah bersabda: Pada jaman dahulu ada seorang laki-laki yang telah membunuh sembilan puluh sembilan orang. Kemudian orang tersebut mencari orang alim yang banyak ilmunya. Lalu ditunjukannya kepada seorang rahib dan ia pun langsung mendatanginya. Kepada rahib tersebut ia berterus terang bahwasanya ia telah membunuh sembilan puluh sembilan orang dan apakah taubatnya itu akan diterima? Ternyata rahib itu malahan menjawab; 'Tidak. Taubatmu tidak akan diterima.' Akhirnya laki-laki itu langsung membunuh sang rahib hingga genaplah kini seratus orang yang telah dibunuhnya.

Kemudian laki-laki itu mencari orang lain lagi yang paling banyak ilmunya. Lalu ditunjukan kepadanya seorang alim yang mempunyai ilmu yang banyak. Kepada orang alim tersebut, laki-laki itu berkata; 'Saya telah membunuh seratus orang dan apakah taubat saya akan diterima? ' Orang alim itu menjawab; 'Ya. Tidak ada penghalang antara taubatmu dan dirimu. Pergilah ke daerah ini dan itu, karena di sana banyak orang yang beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Setelah itu, beribadahlah kamu kepada Allah bersama mereka dan janganlah kamu kembali ke daerahmu, karena daerahmu itu termasuk lingkungan yang buruk.' Maka berangkatlah laki-laki itu ke daerah yang telah ditunjukan tersebut.

Di tengah perjalanan menuju ke sana laki-laki itu meninggal dunia. Lalu malaikat Rahmat dan Azab saling berbantahan. Malaikat Rahmat berkata; 'Orang laki-laki ini telah berniat pergi ke suatu wilayah untuk bertaubat dan beribadah kepada Allah dengan sepenuh hati.' Malaikat Azab membantah; 'Tetapi, bukankah ia belum berbuat baik sama sekali.' Akhirnya datanglah seorang malaikat yang berwujud manusia menemui kedua malaikat yang sedang berbantahan itu. Maka keduanya meminta keputusan kepada malaikat yang berwujud manusia dengan cara yang terbaik. Orang tersebut berkata; 'Ukurlah jarak yang terdekat dengan orang yang meninggal dunia ini dari tempat berangkatnya hingga ke tempat tujuannya. Mana yang terdekat, maka itulah keputusannya.' Ternyata dari hasil pengukuran mereka itu terbukti bahwa orang laki-laki tersebut meninggal dunia lebih dekat ke tempat tujuannya. Dengan demikian orang tersebut berada dalam genggaman malaikat Rahmat.'

Jadi bahkan Malaikat-pun berbantahan, berselisih atau berbeda pendapat. Sesuatu hal yang tidak pernah kita bayangkan bahwa Malaikat - makhluk yang selalu beridabah, senantiasa bertasbih dengan memuji dan mensucikan Allah SWT - ternyata juga bisa berselisih atau berbeda pendapat dengan sesama Malaikat.

Dari beberapa contoh yang telah kita sebutkan di atas bahwa berselisih atau berbeda pendapat itu tidak berarti haram dan dosa. Memang ada perselisihan yang diharamkan, yaitu perselisihan yang berujung kepada keluarnya salah satu pihak dari pokok atau usul akidah sehingga terjadi perpecahan. Tetapi perpebedaan pendapat yang mencari ridha Allah SWT merupakan perbedaan pendapat yang dibenarkan. Kalau berpeda pandangan atau pendapat itu haram dan dosa, seharusnya para Nabi, Rasul dan Malaikat tidak boleh berbeda pandangan. Setidaknya, Allah SWT dan Rasulullah SAW tidak perlu menceritakan kisah-kisah perselisihan mereka, seharusnya ditutup rapat saja, dihapus dari ingatan manusia sehingga ummat Islam belakangan tidak dapat mengambil pelajaran dari kisah-kisah tersebut – tetap menjadi urusan dunia ghaib. 

Sebelum kita tutup, mungkin kisah tetang awal mulanya Al-Qur'an dikumpulkan berikut dapat menjadi ibrah pelajaran buat kita ummat Islam semua agar tidak sampai menyalahkan, menghujat, bahkan menyebut sesat atau kafir sesama ummat Islam sehingga tidak terjadi perpecahan ummat dan musuh-musuh Islam gembira karenanya. Semoga Allah Azza wa Jalla melapangkan dada kita (ummat Islam) untuk menerima perbedaan pendapat para ulama atau imam yang kita (ummat Islam) ikuti, janganlah kita (ummat Islam) menjadikan musuh-musuh gembira melihat ummat Islam berpecah, dan janganlah kita (ummat Islam) memasukkan sesama ummat Islam ke dalam golongan orang-orang yang zalim, sesat atau kafir, na'uudzubillah min dzaalik (kita berlindung kepada Allah terhadap bahaya atau mudharat sesuatu).

Pada tahun 12H, khalifah Abu Bakr Ash-Shiddiq RA memerintahkan Zaid bin Tsabit RA, yaitu juru tulis Nabi SAW untuk mengumpulkan Al-Qur'an dari berbagai tempat penulisan, baik yang ditulis di kulit-kulit hewan yang sudah dikeringkan (disamak), dedaunan, maupun yang dihapal dalam dada kaum Muslimin. Peristiwa ini terjadi setelah para sahabat RA yang sebagian besar juga Qurraa – penghafal Al-Qur'an banyak yang syuhada di dalam perperangan Yamamah yaitu perang melawan Musallamah Al-Kazab (nabi palsu), sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih Bukhari No. 4311, sunan Tirmidzi No. 3028 dan lain-lain berikut.

Zaid bin Tsabit RA menceritakan bahwa Abu Bakar Ash Shiddiq RA mengutus seseorang kepadaku untuk mendatangi tempat peperangan Yamamah. Ketika itu Umar RA disampingnya, ia (Abu Bakr RA) berkata bahwa Umar RA mendatangiku dan mengatakan "Sesungguhnya perang Yamamah telah berkecamuk (menimpa) para penghafal Al-Qur`an dan aku khawatir akan menimpa para penghafal al-Qur`an di negeri-negeri lainnya sehingga banyak yang gugur, menurutku engkau harus memerintahkan pengumpulan Al-Qur`an (proyek dokumentasi Al-Qur'an)". Abu Bakar RA berkata kepada Umar RA "Bagaimana aku melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam?" Umar RA berkata "Demi Allah hal itu adalah proyek yang baik sekali". Ia (Umar RA) terus mengulangi hal itu sampai Allah melapangkan dadaku sebagaimana melapangkan dada Umar RA dan aku sependapat dengannya.

Zaid RA berkata "Abu Bakar RA berkata "Sesungguhnya kamu adalah pemuda yang cerdas, kami tidak meragukanmu, dan kamu juga menulis wahyu untuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam, karena itu kumpulkanlah Al-Qur`an". Ia (Zaid RA) berkata "Demi Allah, seandainya mereka menyuruhku untuk memidahkan gunung dari gunung yang lain, itu tidak lebih berat daripada mengumpulkan Al-Qur'an, bagaimana kalian mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam?" Abu Bakar RA menjawab "Demi Allah hal itu adalah baik". Abu Bakar RA dan Umar RA terus mengulanginya, sehingga Allah melapangkan dadaku sebagaimana melapangkan dada keduanya (Abu Bakar RA dan Umar RA).

Lalu aku kumpulkan Al-Qur'an (yang ditulis) dikulit, pelepah kurma, dan batu pipih, juga dari hafalan orang, dan surat yang terakhir kudapatkan bersama Khuzaimah RA adalah ayat Baraa`ah, yang tepatnya: Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah: 'Cukuplah Allah bagiku; tidak ada ilah selain Dia. Hanya kepadaNya aku bertawakkal dan Dia adalah Rabb yang memiliki 'Arsy yang agung. (At Taubah: 128-129).

Demikian kita cukupkan sampaikan disini. Insyaa' Allah minggu depan akan kita lanjut lagi dengan pembahasan lain. Kalau ada yang salah, itu semua berasal dari saya sebagai makhluk yang tidak luput dari salah, tolong dikoreksi semua kesalahan tersebut. Saya memohon ampun kepada Allah Azza wa Jalla atas semua kesalahan dan kekhilafan dalam tulisan ini. Semua yang benar berasal dan milik Allah yang Maha Mengetahui.

Maha suci Engkau yaa Allah, dan segala puji bagi-Mu. Saya bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah (dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah). Saya mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu yaa Allah.

Semoga bermamfa'at, wallahu a'lamu bish-shawaabi.


Jumat, 17 Juni 2016

Catatan Tentang Penciptaan Nabi Adam AS - Bagian ke-3

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuhu.

بسمِ اللهِ الرّحمٰنِ الرّحيمِ

Alhamdulillahi Rabb al'aalamiina. Sungguh hanya kepada Allah SWT saja kita ucapkan puji dan syukur atas segala ni'mat yang senantiasa Allah limpahkan kepada kita semua. Salawat dan salam kepada tauladan yang mulia, Nabi dan Rasulullah Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wassalam (SAW) beserta keluarga, para sahabat RA, tabi'in, tabiut tabiahum dan kepada ummat Islam sepanjang masa dimanapun berada. Semoga kita semua istiqamah menegakkan agama Islam sampai akhir hayat nanti, aamiin yaa Rabb al'aalamiin.

Insyaa Allah hari ini akan kita lanjutkan membahas dan sharing tentang beberapa catatan penting penciptaan Nabi Adam AS bagian ke-3, yaitu 'dimana' Nabi Adam AS diciptakan. Sebelumnya sudah kita bahas mengenai materi atau dari apa Nabi Adam AS diciptakan dan bagaimana process penciptaan Nabi Adam AS sampai dengan Allah Azza wa Jalla meniupkan ruh-NYA kepada jazad atau badan bashar Nabi Adam AS.

Sebelum penciptaan Nabi Adam AS, seperti yang disebutkan dalam surat Al-Qarah ayat 30 bahwa Allah Azza wa Jalla telah memberitakannya kepada para Malaikat bahwa Allah SWT akan menciptakan Nabi Adam AS akan atau untuk menjadi wakil (khalifah) Allah di bumi. Di dalam surat Hud ayat 61 bahwa Allah SWT telah menciptakan kamu (manusia) dari bumi (ardhi), kemudian di dalam surat Nuh ayat 17 bahwa  Allah Azza wa Jalla menciptakan manusia dari tanah (ardhi) yang sebaik-baiknya (nabaatan). Di dalam ayat 52 surat Taha bahwa Allah SWT telah menghamparkan bumi untuk manusia (keturunan Nabi Adam AS) dan pada ayat 55 diingatkan bahwa Allah SWT menciptakan Nabi Adam dari bumi dan kembali ke bumi. Jadi Nabi Adam AS berasal dari bumi, untuk menjadi khalifah bumi dan kembali ke bumi (ardhi).

Lantas dimana Nabi Adam AS diciptakan? Para mufasir berbeda pendapat tentang tentang ini, yaitu dimana Allah SWT menciptakan Nabi Adam AS. Ada tiga pendapat, pertama para ulama berpendapat bahwa Allah Azza wa Jalla menciptakan Nabi Adam AS di dunia (bumi), pendapat kedua menyatakan bahwa Nabi Adam AS diciptakan di langit (samawat), sedangkan pendapat terakhir bahwa Nabi Adam AS diciptakan di syurga (al-jannah).

Menurut pendapat pertama yang menyatakan bahwa Nabi Adam AS diciptakan di bumi, kemudian diangkat atau dimasukan ke syurga, ditiupkan ruh kemudian dikembalikan ke bumi sebagai khalifah. Pendapat ini berdasarkan arti tersirat dari surat Al-Baqarah ayat 30 yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu firman Allah SWT kepada para Malaikat "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Kemudian para Malaikat berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Begitu juga dengan HR Sunan Abu Daud No. 4073, Musnad Ahmad No. 18761 dan lain-lain, Rasulullah SAW berkata bahwa Allah Azza wa Jalla mencipta Adam (AS) dari segenggam (tanah) yang Dia genggam dari seluruh bumi.

Menurut pendapat kedua bahwa Nabi Adam AS diciptakan di langit (samaai) dari material yang diambil dari bumi (ardhi), ditiupkan ruh-NYA dan para malaikat di langit (samaawaat jamak dari samaai) disuruh sujud, kemudian baru diperintahkan tinggal di surga (yang ada di langit tersebut) sebelum diturunkan ke dunia.  Pendapat kedua ini berdasarkan surat Al-Baqarah ayat 33 - 35 dimana Allah SWT menyuruh Nabi Adam AS memberi tahu nama-nama benda kepada para Malaikat yang mendiami langit. Kemudian Allah SWT menyuruh para Malaikat yang ada di langit untuk sujud kepada Nabi Adam AS. Setelah itu Allah SWT menyuruh Nabi Adam AS mendiami syurga yang ada dilangit itu sebelum diturunkan ke bumi.

Menurut pendapat ini, syurga yang dimaksud adalah syurga yang ada di langit tersebut karena Nabi Adam AS dilarang mendekati sebuah pohon, dimana di dalan syurga yang ' sebenarnya' tidak ada larangan. Begitu juga mengenai pengertian langit, yang dimaksud langit disini bukanlah syurga dan syurga yang dimaksud juga bukan syurga 'sebenarnya', karena syurga (yang sebenarnya) luasnya sama dengan luas langit dan bumi seperti firman Allah SWT dalam surat Ali 'Imraan ayat 133. Sementara Allah SWT menciptakan 7 lapis langit (samaawaat jamak dari samaai - satu langit) seperti firmanNYA dalam surat Al-Baqarah ayat 29.

Di dalam hadits shahih Bukhari No. 336, shahih Muslim No. 237 dan lain-lain tentang mi'rajnya Nabi Muhammad SAW disebutkan bahwa Beliau SAW menjumpai beberapa orang Nabi di setiap lapis langit. Jadi Nabi SAW tidak menjumpai para Nabi tersebut di syurga (yang sebenarnya) tetapi di langit tersebut. Rasulullah SAW berkata: "…Ketika kami sampai pada langit dunia, maka Jibril berkata kepada malaikat penjaga langit dunia, 'Bukalah.' Dia menjawab, 'Siapa ini? ' Jibril menjawab, 'Ini Jibril.' Dia bertanya, 'Apakah ada seseorang bersamamu? ' Jibril menjawab, 'Ya. Aku bersama Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam.' Dia bertanya, 'Apakah dia telah diutuskan? ' Jibril menjawab, 'Ya.' Lalu malaikat penjaga membukakan pintu. Beliau melanjutkan sabdanya: 'Ketika kami telah menaiki langit dunia, tiba-tiba ada seorang laki-laki dari sampingnya hitam dan samping kanannya juga hitam. Apabila dia melihat sebelah kanannya maka dia tertawa, dan apabila dia melihat sebelah kirinya maka dia menangis. Rasulullah melanjutkan: 'Laki-laki itu lalu berkata, 'Selamat datang wahai Nabi yang shalih dan putera yang shalih'. Aku bertanya, 'Siapa ini wahai Jibril? ' Jibril menjawab, 'Ini Adam shallallahu 'alaihi wasallam, dan ini al-Aswidah di sebalah kanannya, dan di sebelah kirinya Nasam para puteranya. Di sebelah kanan adalah penduduk surga, sedangkan al-Aswidah yang di sebelah kirinya adalah penduduk neraka, sehingga apabila dia menoleh ke sebelah kanan niscaya dia tertawa, dan apabila dia melihat ke sebelah kirinya niscaya dia menangis… "

Adapun pendapat ketiga yaitu merupakan jumhur (kesepakatan) para ulama bahwa Allah Azza wa Jalla menciptakan Nabi Adam AS di syurga (al-jannah) yang sebenarnya dan semua proses lainnya seperti ditiupkan Ruh-NYA, para malaikat bersujud dan Nabi Adam AS disuruh mendiami syurga, terjadi di tempat yang sama yaitu di syurga (al-jannah). Pendapat ini berdasarkan pengertiaan Al-Jannah (syurga) yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 35, yaitu Allah SWT berfirman: "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini,..". Dimana menurut pendapat ini bahwa penggunaan kata ma'rifat alif lam (ال) pada kata Al-Jannah (الجنّة) cuman memberikan arti syurga yang secara syar'i adalah Al-Jannah yang disediakan atau dijanjikan Allah SWT buat semua ummat Muslim - ummat para Nabi dan Rasul nanti di akhirat.

Sebelumnya sudah kita sebutkan bahwa sebelum meniupkan ruh kepada jasad atau badan (bashar) Nabi Adam AS, sebelum menjadi manusia – masih dalam berbentuk (masnun) Allah Azza wa Jalla belum menyempurnakan kejadian Adam AS dan iblis masih belum diusir dari syurga. Di dalam hadits shahih Muslim No. 4727, Musnad Ahmad No.  12081 dan lain-lain Rasulullah Shallallahu'alaihi wa Sallam bersabda: Setelah membentuk tubuh Adam alaihi salam, Allah Subhanahu wa Ta'ala pun membiarkannya di surga (Al-Jannah) sesuai dengan kehendak-Nya. Tak lama kemudian, iblis datang mengitari tubuh Adam sambil mengamati. Setelah mengetahui bahwasanya tubuh Adam itu mempunyai rongga, maka lblis pun mengerti bahwasanya Adam diciptakan dalam kondisi yang tidak dapat mengendalikan dirinya sendiri.

Di dalam hadits Muslim No. 288, Musnad Ahmad No. 2415 dan lain-lain mengenai kejadian pada saat hari kiamat. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Kelak di hari Akhir Allah Tabaraka wa Ta'ala akan mengumpulkan semua manusia. Lalu orang-orang mukmin bangkit, dan surga (Al-Jannah) telah didekatkan kepada mereka. Mereka mendatangi Nabi Adam seraya berkata, 'Wahai ayah kami, mohonkanlah agar pintu surga (Al-Jannah) segera dibukakan untuk kami.' Adam menjawab, '(Aku tidak pantas memintakan hal ini untuk kalian), bukankah yang mengeluarkan kalian adalah karena kesalahan bapak kalian dari surga (Al-Jannah) ini?

Sebelum kita tutup, sebagai catatan pinggir bahwa jannah (جنّة) bisa berarti kebun, taman atau syurga. Di dalam Al-Qur'an kata jannah (جنّة) diterjemahkan sebagai syurga jika menggunakan kata atau huruf ma'rifat alif lam (ال) sehingga menjadi Al-Jannah (الجنّة) atau kata Jannah di-ikuti oleh kata sifat atau khabar atau kata lain setelahnya seperti berikut:
·         Al-Jannah yang bermakna syurga: QS 2:35, 82, 111, 214, 221, QS 3:142, 185, QS 4:124, QS 5:72 dan lai-lain (seluruhnya terdapat sebanyak 51 kali).
·         Jannatu-Adnin yang bermakna Syurga Eden: QS 16:31, QS 18:31, QS 20:76, QS 19:61, QS 35):33, QS 38:50, QS 40:8.
·         Jannatu-Naim yang bermakna Syurga penuh Nikmat: QS 22:56, QS 31:8, QS 37:43, QS 70:38, QS 10:9, QS 68:34, QS 82:13, QS 98:8.
·         Jannatul-Khuldi yang bermakna Syurga Hidup Kekal: QS 25:15.
·         Jannatul Makwa yang bermakna Syurga Penuh Tenteram: QS 53:15, QS 32:19, QS 79:41.
·         Jannatul Firdaus yang bermakna Syurga Firdaus: QS 23:11.
Sedangkan kata jannah yang lain tidak diartikan sebagai syurga, seperti berikut:
·         Jannah yang bermakna Kebun Tamar (Kurma): QS 2:266, QS 13:4, QS 23:19, QS 17:91.
·         Jannah yang bermakna Kebun Anggur: QS 18:32, QS 2:266, QS 6:99, QS 23:19, QS 17:91.
·         Jannah yang bermakna Kebun di Lereng Bukit: QS 2:265.
·         Jannah yang bermakna Kebun: QS 26:134, QS 6:141, QS 18:33, 35, 39, 40.
·         Jannah yang bermakna Taman: QS 44:26, QS 34:15-16.

Demikian kita cukupkan sampai disini dulu. Insyaa' Allah minggu depan akan kita lanjut dengan episode lain. Kalau ada yang salah, itu semua berasal dari saya sebagai makhluk yang tidak luput dari salah, tolong dikoreksi semua kesalahan tersebut. Saya memohon ampun kepada Allah Azza wa Jalla atas semua kesalahan dan kekhilafan dalam tulisan ini. Semua yang benar berasal dan milik Allah yang Maha Mengetahui.

Maha suci Engkau yaa Allah, dan segala puji bagi-Mu. Saya bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Saya mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu yaa Allah.

Semoga bermamfa'at, wallahu a'lamu bish-shawaabi.


Sabtu, 11 Juni 2016

Catatan Tentang Penciptaan Nabi Adam AS - Bagian ke-2

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuhu.

بسمِ اللهِ الرّحمٰنِ الرّحيمِ

Alhamdulillahi Rabb al'aalamiina. Sungguh hanya kepada Allah SWT saja kita ucapkan puji dan syukur atas segala ni'mat yang senantiasa Allah limpahkan kepada kita semua. Salawat dan salam kepada tauladan yang mulia, Nabi dan Rasulullah Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wassalam (SAW) beserta keluarga, para sahabat RA, tabi'in, tabiut tabiahum dan kepada ummat Islam sepanjang masa dimanapun berada. Semoga kita semua istiqamah menegakkan agama Islam sampai akhir hayat nanti, aamiin yaa Rabb al'aalamiin.

Insyaa Allah hari ini akan kita lajutkan membahas dan sharing tentang beberapa catatan penting penciptaan Nabi Adam AS bagian ke-2. Sebelumnya sudah kita sebutkan bahwa Allah Azza wa Jalla menciptakan dengan tangan-NYA (biyadhi) Nabi Adam AS dari turaab (tanah kering) dan maai (air) yang diambil dari yang terbaik (nabatan) dari seluruh permukaan bumi (ardhi) dan mencampurnya menjadi thiin (tanah lempung). Kemudian saripati (sulaalatin) tanah lempung ini menjadi kering (shalshalin) yang dapat dibentuk (laazib) yang tadinya dari lumpur berwarna hitam (hamain), kemudian shalshalin ini berbentuk (masnun) seperti tembikar (fakhkhaar).

Sebelum meniupkan ruh kepada jasad atau badan (bashar) Nabi Adam AS, sebelum menjadi manusia – masih dalam berbentuk (masnun), jadi Allah Azza wa Jalla belum menyempurnakan kejadian Adam AS. Di dalam hadits shahih Muslim No. 4727, Musnad Ahmad No.  12081 dan lain-lain Rasulullah Shallallahu'alaihi wa Sallam bersabda: Tatkala Allah mencipta Adam, Dia meninggalkannya dengan sekehendak-Nya, iblis kemudian datang mengitarinya seraya mengamatinya, dan ketika ia melihat bahwa Adam adalah makhluk yang memiliki rongga ia mengerti bahwa Adam adalah makhluk yang tidak bisa mengendalikan diri.

Ini merupakan kesombongan iblis, bahwa Adam tidak sempurna, mencela atau menghina ciptaan Allah Azza wa Jalla.  Para mufasir menyebutkan bahwa iblis wajib keluar dari rahmat Allah karena menetapkan bahwa Adam memiliki berbagai kekurangan, ia menghinanya dan menyombongkan diri atas Adam AS. Makanya ketika kemudian (setelah ditiupkan ruh) disuruh sujud kepada Adam AS, iblis menentang perintah Allah Azza wa Jalla dengan mengatakan dia lebih baik dari Adam AS.

Di dalam surat Al-Hijir ayat 28 sampai dengan 31 berikut: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering/shalshalin (yang berasal) dari lumpur hitam (hamain) yang diberi bentuk (masnun). Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu (para Malaikat) kepadanya dengan bersujud". Maka bersujudlah para malaikat itu semuanya bersama-sama, kecuali iblis. Ia enggan ikut besama-sama (malaikat) yang sujud itu (QS 15:28-31).

Jadi Allah Azza wa Jalla telah menciptakan Adam AS yang dimulai dari tanah (thurab) dan merupakan sebaik-sebaiknya ciptaan, kemudian Allah menyempurnakan dengan meniupkan ke dalamnya Ruh-NYA. Di dalam surat Ali Imran ayat 59 Allah berfirman: Allah menciptakan Adam (yang berasal) dari tanah (turaab), kemudian Allah berfirman kepadanya: "Jadilah" (seorang manusia), maka jadilah dia (QS 3:59).

Ibnu Katsir menyebutkan bahwa ketika Ruh ditiupkan, Ruh masuk melalui atau dari kepala, pertama kali masuk ke penglihatan (mata) dan penciuman (hidung). Dalam
hadits riwayat sunan Tirmidzi No. 3290 bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Tatkala Allah menciptakan Adam dan meniupkan ruh padanya maka ia bersin, lalu mengucapkan al hamdulillah. Ia memuji Allah dengan seizinNya. Kemudian Tuhannya mengucapkan; yarhamukallah.

Berdasarkan ayat-ayat Al-Qur'an dan beberapa Hadits Rasulullah SAW, para ulama menyebutkan bahwa penciptaan Adam AS mempunyai beberapa kemuliaan sebagai berikut:

1. Adam AS adalah makhluk yang diciptakan dengan kedua tangan-NYA. Firman Allah Azza wa Jalla dalam surat Shad ayat 75: Allah berfirman: "Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?" (QS 38:75).

2. Allah Azza wa Jalla meniupkan Ruh-NYA kepada badan (bashar) Adam AS. Firman Allah SWT dalam surat Shad ayat 72: Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh (ciptaan)Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya (QS 38:72).

3. Allah Azza wa Jalla memerintahkan Malaikat untuk sujud kepada Adam AS. Firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 34: Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir (QS 2:34).

4. Allah SWT mengajarkan Adam AS seluruh nama-nama: Firman Allah Azza wa Jalla dalam surat Al-Baqarah ayat ke-31: Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!" (QS 2:31).

Demikian kita cukupkan sampai disini dulu. Insyaa' Allah minggu depan akan kita lanjut dengan episode ke-3 tentang penciptaan Nabi Adam AS ini. Kalau ada yang salah, itu semua berasal dari saya sebagai makhluk yang tidak luput dari salah, tolong dikoreksi semua kesalahan tersebut. Saya memohon ampun kepada Allah Azza wa Jalla atas semua kesalahan dan kekhilafan dalam tulisan ini. Semua yang benar berasal dan milik Allah yang Maha Mengetahui.

Maha suci Engkau yaa Allah, dan segala puji bagi-Mu. Saya bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah. Saya mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu yaa Allah.

Semoga bermamfa'at, wallahu a'lamu bish-shawaabi.


--

Wassalam,
Aba Abdirrahim

Catatan Tentang Penciptaan Nabi Adam AS - Bagian ke-1

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuhu.

بسمِ اللهِ الرّحمٰنِ الرّحيمِ

Alhamdulillahi Rabb al'aalamiina. Sungguh hanya kepada Allah SWT saja kita ucapkan puji dan syukur atas segala ni'mat yang senantiasa Allah limpahkan kepada kita semua. Salawat dan salam kepada tauladan yang mulia, Nabi dan Rasulullah Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wassalam (SAW) beserta keluarga, para sahabat RA, tabi'in, tabiut tabiahum dan kepada ummat Islam sepanjang masa dimanapun berada. Semoga kita semua istiqamah menegakkan agama Islam sampai akhir hayat nanti, aamiin yaa Rabb al'aalamiin.

Insyaa Allah hari ini akan kita bahas dan sharing beberapa catatan penting tentang penciptaan Nabi Adam AS. Sebagaimana kita - ummat Islam – yakini bahwa Nabi Adam Alaihi Salam adalah manusia pertama yang diciptakan Allah SWT, seperti Firman Allah dalam surat An-Nisa ayat-1 berikut: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu (QS 4:1).

Pada saat membahas silsilah Nabi Muhammad SAW sebelumnya bahwa Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: "Jadilah" (seorang manusia), maka jadilah dia. Ketika Allah menciptakan Adam, Hawa juga dicipta dari tulang rusuknya yang pendek. Kemudian Allah mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka. Termasuk semua Nabi dan/atau Rasul, kita ummat Manusia yang beragam bahasa dan ras baik yang telah tiada, sekarang maupun yang akan datang, semuanya sama yaitu anak-anak keturunan Nabi Adam AS. Insyaa Alah kita akan bahas process penciptaan Nabi Adam AS ini berdasarkan Al-Qur'an Hadits.

Di dalam tafsirnya Ibnu Katsir menyebutkan bahwah Allah Subhanahu wa Ta'ala mengabarkan kepada para malaikat maksud penciptaan Nabi Adam AS dan keturunnya dengan berbicara langsung kepada mereka untuk menarik perhatian mereka dan juga sekaligus merupakan ujian kepada malaikat. Khabar ini merupakan berita luar biasa yang belum pernah ada sebelum kejadiaan Nabi Adam AS. Firman Allah SWT: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". (QS 2:30)

Sebelumnya mari kita lihat dulu arti dari huruf Adam yang berasal dari akar kata adama (أدم)  yaitu kata kerja fi'il madhi bentuk ke-4 yang mempunyai arti "dia telah mencampur atau menggabungkan semua". Kalau kita perhatikan manusia, tidak ada yang sama baik warna kulit maupun bentuk, meskipun kembar tetap ada perbedaannya. Di dalam surat Ar-Ruum Allah SWT berfirman: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui (QS 30:22).

Jadi Allah SWT menciptakan manusia. Lantas dari apa Allah SWT menciptakannya, bagaimana dan dimana? Di dalam tafsir ibnu Katsir disebutkan bahwa sebelum penciptaan Adam AS, Allah SWT terlebih dahulu (dalam pandangan manusia sebagai makhluk) menciptakan langit dan bumi, sebagaimana dalam FirmanNya dalamsurat Al-A'raf: Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam (QS 7:54).

Di dalam beberapa hadits disebutkan Rasulullah SAW berkata bahwa Allah Azza wa Jalla mencipta Adam (AS) dari segenggam (tanah) yang Dia genggam dari seluruh bumi. Maka anak keturunan Adam (AS) sesuai dengan tanah, ada yang berkulit putih, merah, hitam atau berkulit antara warna-warna itu. Kemudian ada yang bersifat mudah, sedih dan antara dua sifat itu. Dan ada juga yang buruk, baik, dan ada yang sifatnya campuran diantara kedua hal itu (HR Sunan Abu Daud No. 4073, Musnad Ahmad No. 18761 dan lain-lain).

Firman Allah SWT dalam surat Hud ayat 61 bahwa Allah SWT telah menciptakan kamu dari bumi (ardhi), kemudian di dalam surat Nuh ayat 17 bahwa  Allah Azza wa Jalla menciptakan manusia dari tanah (ardhi) yang sebaik-baiknya (nabaatan). Jadi berdasarkan hadits di atas dan kedua ayat Al-Quran ini bahwa Allah Azza wa Jalla telah menciptakan manusia dari bumi atau tanah, yaitu materialnya di ambil dari tanah (ardhi) yaitu dari tiap-tiap tanah terbaik dari seluruh penjuru bumi dengan berbagai warnanya dan shifatnya. Lantas tanah atau material apa dari bumi tersebut yang diambil Allah SWT untuk menciptakan Adam AS?

Pada ayat 54 surat Al-A'raf di atas para mufasir menerjemahkan kata ardhi (أرض) sebagai bumi. Tapi dalam ayat-ayat yang berhubungan dengan penciptaan manusia (Adam AS) para mufasir menerjemahkannya sebagai tanah atau permukaan bumi atau lapisan teratas/terluar dari bumi atau dalam ilmu alam disebut sebagai kerak bumi. Pada lapisan bumi material utama adalah pasir (sand) dan air. Jadi material utama dan terbaik apakah dalam penciptaan Adam AS yang diambil dari seluruh permukaan bumi tersebut?

Yang pertama adalah Turaab (تراب) yaitu tanah kering atau pasir atau sand seperti Firman Allah Azza wa Jalla dalam surat Ar-Rum: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah (turaab), kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak (QS 30:20).  

Yang kedua adalah Maai (مآءِ) atau air sebagaimana Firman Allah Azza wa Jalla dalam surat Al-Furqan: Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa (QS 25:54).

Kedua komponen itulah Allah Azza wa Jalla menerangkan dalam Al-Quran menciptakan Adam AS. Kemudian kedua komponen tersebut Allah membentuk menjadi thiin (طين) atau tanah liat atau lumpur yaitu campuran turaab (تراب) atau tanah kering dan maai (مآء) atau air. Di dalam surat Al-A'raf ayat 11, Allah SWT berfirman: Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada para malaikat: "Bersujudlah kamu kepada Adam", maka merekapun bersujud kecuali iblis. Dia tidak termasuk mereka yang bersujud (QS 7:11).

Para mufasir menyebutkan bahwa kata khalaqnaakum (حلقنٰكم) = kami menciptakan kamu (Adam AS), adalah Allah sendiri sebagai pelaku yang menciptakan Adam AS dari unsur atau material turaab (tanah kering) dan maai (air) dengan cara membentuk atau mencampurnya. Dalam hadits shahih Bukhari No. 3092, shahih Muslim N0. 287 dan lain-lain bahwa Rasulullah SAW bersabda: " ... Pada hari kiamat, Allah mengumpulkan seluruh manusia ... Lalu mereka mendatanginya (Nabi Adam AS) dan berkata, 'Wahai Adam! Engkau adalah bapaknya seluruh manusia, Allah menciptakanmu dengan tangan-Nya dan meniupkan dari ruh-Nya kepadamu, serta memerintahkan para malaikat lalu mereka sujud padamu dan Allah juga menempatkanmu di surga, ... "

Jadi proses penciptaan Adam AS dari turaab (tanah kering) dan maai (air) menjadi thiin (tanah liat). Thiin (tanah liat atau lempung atau clay) yang dimaksud disini adalah sulaalatin (سلالة) atau saripati dari thiin sendiri. Dalam surat Al-Mu'minun ayat 12, Allah SWT berfirman: Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati/sulaalatin (berasal) dari tanah (QS 23:12).

Dari proses pembentukan saripati (sulaalatin) tanah lempung (thiin) berangsur/angsur menjadi tanah liat laazib (لازب) yang bisa dibentuk. Hal ini diterangkan dalam surat Ash-Shaafaat ayat 11: Maka tanyakanlah kepada mereka (musyrik Mekah): "Apakah mereka yang lebih kukuh kejadiannya ataukah apa yang telah Kami ciptakan itu?" Sesungguhnya Kami telah menciptakan mereka dari tanah liat (laazib) (QS 37:11).

Kemudian Allah Azza Wa Jalla membentuk tanah liat yang bisa dibentuk (laazib) dan berwana hitam yang disebut hamain (حمإٍ) menjadi tanah liat yang kering atau disebut shalshaalin (صلصٰلٍ). Allah SWT berfirman dalam surat Al-Hijir ayat 26: Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk (QS 15:26).

Di dalam surat Al-Rahman ayat 14, Allah SWT menyebutkan bahwa shalshaalin atau tanah liat kering dari lumpur hitam (hamain) dan bisa dibentuk (laziib) ini keras seperti tembikhar atau keramik atau fakhkhar (فخّر): Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar (QS 55:14).

Catatan pinggir bahwa dari komponen tanah kering (thuraab) dan air (maai) menjadi tanah lempung (thiin) juga bisa dibentuk batu-batuan (hijaratun jamak dari hajar=batu). Allah Azza wa Jalla berfirman dalam surat Adz-Dzariyat ayat 33: agar kami timpakan kepada mereka batu-batu (hijaratun) dari tanah (thiin) (QS 51:33).

Demikian kita cukupkan sampai disini dulu. Insyaa' Allah minggu depan akan kita lanjut dengan episode ke-2 tentang penciptaan Nabi Adam AS ini. Kalau ada yang salah, itu semua berasal dari saya sebagai makhluk yang tidak luput dari salah, tolong dikoreksi semua kesalahan tersebut. Saya memohon ampun kepada Allah Azza wa Jalla atas semua kesalahan dan kekhilafan dalam tulisan ini. Semua yang benar berasal dan milik Allah yang Maha Mengetahui.

Maha suci Engkau yaa Allah, dan segala puji bagi-Mu. Saya bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah. Saya mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu yaa Allah.

Semoga bermamfa'at, wallahu a'lamu bish-shawaabi.


Wassalam

Jumat, 03 Juni 2016

Ikhtilaf dan/atau Ikhtilaaf

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuhu.

Alhamdulillahi Rabbi al'aalamiina. Sungguh hanya kepada Allah SWT saja kita ucapkan puji dan syukur atas segala ni'mat yang senantiasa Allah limpahkan kepada kita semua. Salawat dan salam kepada tauladan yang mulia, Nabi dan Rasulullah Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wassalam (SAW) beserta keluarga, para sahabat RA, tabi'in, tabiut tabiahum dan kepada ummat Islam sepanjang masa dimanapun berada. Semoga kita semua istiqamah menegakkan agama Islam sampai akhir hayat nanti, aamiin yaa Rabb al'aalamiin.

Insyaa Allah hari ini kita coba membahas topik yang berkaitan dengan point-point tentang Ikhtilaf atau perselisihan atau perbedaan pendapat. Sebelumnya pada pembahasan iftiraq (perpecahan) sudah kita sebutkan bahwa ikhtilaf atau perselisihan pendapat atau berselisih atau berbeda dalam hal khilafiyah (perselisihan ijtihad atau pemahaman tentang masalah agama atau cabang-cabang agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits), bukan perbedaan atau perselisihan pendapat tentang hal lain selain masalah agama. Itktilaf  bukan merupakan bagian dari perpecahan atau iftiraq. Maksudnya bahwa berselisih atau berbeda pendapat - ikhtilaf tidak dapat dikategorikan kepada golongan yang sudah berpecah - iftiraq, yang bisa dikategorikan kepada sesat atau kafir atau bukan golongan ummat Nabi Muhammad SAW lagi. Betul ikhtilaf bisa berakhir dengan iftiraq (perpecahan) tetapi tidak semua perselisihan atau perbedaan pendapat berakhir dengan perpecahan. Yang pasti perpecahan sudah pasti berselisih pendapat (ikhtilaf).

Secara bahasa (etimologi) kata Ikhtilaf merupakan serapan dari bahasa Arab ikhtalafa (إختلف) = berselisih, berasal dari akar kata khalafa (خَلَفَ) = mengganti. Kata ikhtalafa atau ikhtilaf merupakan bentuk kata kerja yang telah lampau dan mempunyai arti telah berbeda atau telah berselisih. Sedangkan bentuk kata bendanya adalah ikhtilaafan (إختلاف) yang berarti perbedaan atau perselesihan yaitu sebagai hasil dari pekerjaan ikhtalafa (huruf lam-nya tanpa alif) itu sendiri. Dalam percakapan sehari hari (yang sudah diserap oleh bahasa Indonesia) sering dipakai kata ikhtilaf (إختلف atau ikhtalafa) untuk menerangkan ikhtilaaf (ikhtilaaf – إختلاف dengan huruf lam-nya pakai alif) yaitu perselisihan atau perbedaan pendapat terhadap segala hal yang tidak menemukan kesamaan pemahaman atau kesamaan pendapat. Sedangkan secara istilah (terminology) ikhtilaf adalah usaha atau kerja atau aktifitas seseorang untuk mengambil jalan/cara yang berbeda dengan jalan yang lainnya baik dalam ucapan, pendapat, keadaan, cara atau pendirian. 

Jadi sebelumnya harus kita definisikan dulu bahwa yang akan kita bahas disini adalah ikhtilaf (sebagai kata kerja – yang berarti berselisih atau berbeda) dan ikhtilaaf (sebagai kata benda – perselisihan atau perbedaan) terhadap atau yang hanya berhubungan dengan masalah pemahaman agama Islam. Para ulama fiqih menyebut perselisihan atau perbedaan pendapat dalam pemahaman agama Islam ini dengan istilah ikhtilaf al-fuqaha yaitu perbedaan pemahaman (agama Islam). Kemudian para ulama fiqih juga memberikan batasan bahwa masalah pemahaman agama Islam yang (masih) boleh diperselisihkan adalah yang bersifat furu'iyyah (cabang), bukan pada masalah hukum islam yang bersifat ushuliyyah (pokok-pokok hukum islam), disebabkan perbedaan pemahaman atau perbedaan metode dalam menetapkan hukum suatu masalah dan lain-lain. 

Insyaa Allah, kita akan mencoba membahas ikhtilah (berselisih/berbeda) dan/atau ikhtilaaf (perselisihan/perbedaan) pemahaman terhadap agama Islam dalam masalah-masalah furu'iyyah (cabang, non prinsip). Ini termasuk kategori ikhtilaf atau ikhtilaaf yang diterima dan ditolerir atau terpuji (mahmud), selama tidak berubah menjadi perpecahan atau iftiraq yang tercela (madzmum) bahkan sesat atau keluar dari mayoritas ummat Nabi Muhammad SAW. Seluruh perbedaan atau perselisihan pendapat atau pemahaman dikalangan para ulama mujtahidin yaitu ulama yang melakukan ijtihad, adalah ikhtilaf (sebagai kata kerja) dan/atau ikhtilaaf (sebagai kata benda) dalam kategori ini – yang terpuji (mahmud) dan yang tidak menjadi perpecahan (iftiraq).

Ikhtilaf disebut terpuji jika merupakan hasil ijtihad yang berlandaskan niat mencari kebenaran dan memenuhi syarat dan adabnya, bahkan meskipun hasil ijtihad tersebut keliru. Rasulullah SAW berkata dalam hadits riwatyat shahih Bukhari No. 6805, shahih Muslim No. 3240 dan lain-lain: Jika seorang hakim berijtihad dalam menetapkan suatu hukum, ternyata hukumnya benar, maka hakim tersebut akan mendapatkan dua pahala, dan apabila dia berijtihad dalam menetapkan suatu hukum, namun dia salah, maka dia akan mendapatkan satu pahala.

Ikhtilaaf atau perbedaan pendapat dalam hukum islam bagaikan buah yang banyak yang berasal dari SATU pohon, yaitu pohon agama Islam; bukan sebagai buah yang banyak yang berasal dari BERBAGAI macam pohon. Akar dan batang pohon itu adalah Al-Qur'an dan Hadits, cabang-cabangnya adalah Ijtihad yaitu dalil-dalil naqli dan aqli yang bersumber pada Al-Qur'an dan Hadits, sedangkan buahnya adalah hukum Islam (fiqih) meskipun berbeda-beda atau banyak jumlahnya.

Dengan demikian ikhtilaf bukanlah pekerjaan atau bukan merupakan usaha/aktifitas dari orang kebanyakan (awam) atau orang yang tidak mempunyai ilmu dan syarat atau kualifikasi untuk melakukan penetapan hukum dari suatu objek hukum. Begitu juga dengan ikhtilaaf, bukanlah perbedaan atau perselisihan dari orang kebanyakan (awam) yang berhubungan dengan hukum-hukum dalam agama Islam baik yang cabang maupun yang pokok. Jadi kalau ada orang awam yang mengatakan berbeda pendapat berarti maksudnya (seharusnya) bukan tentang masalah hukum-hukum dalam agama Islam akan tetapi dalam masalah lainnya.

Pedoman bagi kita sebagai orang awam dari kaum Muslimin adalah untuk mengikuti pendapat imam-imam mazhab dan bertanya kepada para ulama-ulama mazhab. Dimana pendapat para imam atau ulama ini merupakan hasil istinbath yaitu telah melakukan ijtihad untuk menggali atau menjelaskan hukum-hukum Islam berdasarkan atau bersumber pada Al-Qur'an dan Hadits. Allah SWT telah berfirman pada surat Al Nahal berikut:
Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui, (QS 16:43)

Sebagai kaum Muslimin kita dilarang bertanya atau jangan sampai mengikuti para ulama suk (jahat) yaitu orang-orang yang mencari keuntungan dunia dengan menjual agama, sebagaimana ummat kaum terdahulu yang mengikuti para Rahib atau Pendeta mereka. Nabi SAW menyebutkan bahwa orang yang mengikuti ulama suk ini sama dengan menyembah ulama tersebut. Allah SWT berfirman dalam surat At-Taubah berikut:
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (QS 9:31)

Sebagai kaum Muslimin kita juga harus hati-hati jangan sampai menyalahkan pendapat orang lain apalagi sampai mencap saudara seiman (kaum Muslimin) sebagai sesat atau kafir karena kalau tidak terbukti akan berbalik kepada yang mengatakan. Di dalam hadits shahih Bukhari No. 3246, shahih Muslim No. 93 dan lain-lain bahwa Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam bersabda: Tidak ada vonis lain bagi seorang laki-laki yang menyandarkan nasabnya kepada selain bapaknya, padahal dia mengetahuinya, kecuali bahwa dia telah kafir. Barangsiapa mengaku sesuatu yang bukan miliknya maka dia bukan dari golonganku dan hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya dalam neraka. Dan barangsiapa memanggil seseorang dengan kata 'kafir' atau 'musuh Allah' padahal sebenarnya tidak, maka ucapan itu akan kembali kepadanya.

Banyak sekali hadits yang yang menunjukkan pada kita bahwa ikhtilaf dan/atau ikhtilaaf sudah terjadi pada zaman Nabi SAW masih hidup yaitu ikhtilaf antara para sahabat Nabi SAW. Tetapi berbeda pendapat (ikhtilaf) itu segera dapat dipertemukan dengan mengembalikannya kepada Rasulullah SAW atau Allah SWT yang menurunkan ayat untuk menjelaskannya, sehingga tidak terjadi ikhtilaaf (perbedaan atau perselisihan).

Dalam hadits shahih Muslim No. 3309, musnad Ahmad No. 216 dan lain-lain mengenai tawanan perang Badar, Rasulullah SAW belum menerima wahyu bagaimana tentang perlakuan atau hukuman terhadap para tawanan perang Badar. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bermusyawarah dengan Abu Bakar, Ali dan Umar. Abu Bakar berkata; Wahai Nabiyullah mereka adalah anak anak paman, kerabat dekat dan masih saudara, maka saya berpendapat hendaknya Engkau mengambil dari mereka harta tebusan, dan apa yang kita ambil dari mereka menjadi kekuatan kita mengahadapi orang-orang kafir, semoga Allah akan memberikan hidayah kepada mereka sehingga mereka menjadi pendukung kita. 

Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertanya: Apa pendapat kamu wahai Ibnul Khaththab? Umar menjawab; Aku berkata; 'demi Allah aku tidak berpendapat seperti pendapat Abu Bakar, akan tetapi aku berpendapat Engkau serahkan fulan kerabat Umar kepadaku untuk aku penggal lehernya, dan Engkau serahkan Aqil kepada Ali untuk dia penggal lehernya, dan Engkau serahkan fulan saudara Hamzah kepada Hamzah untuk dia penggal lehernya, sehingga Allah mengetahui bahwa tidak ada kasih sayang dalam hati kita kepada orang-orang musyrik, mereka adalah para pembesar, para tetua dan para pemimpin mereka.' 

Namun Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam condong kepada pendapat Abu Bakar dan tidak kepada pendapatku. Kemudian beliau mengambil tebusan dari mereka, maka pada hari esoknya Umar berkata; pagi pagi aku datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tiba tiba beliau dan Abu Bakar duduk dan keduanya menangis, maka aku bertanya; wahai Rasulullah beritahukan kepadaku apa yang membuat Engkau dan sahabatmu menangis, jika aku bisa menangis, aku akan menangis dan jika aku tidak bisa menangis aku akan menangis nangiskan diri karena kalian berdua menangis. Umar berkata; Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: Pendapat yang diajukan sahabatmu berupa tebusan, sungguh telah ditampakkan kepadaku sisksa kalian lebih dekat ketimbang pohon yang paling dekat dan Allah menurunkan Firman-Nya.

Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil. Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS 8:67-69).

Setelah Rasulullah SAW wafat, maka sering timbul di kalangan sahabat berbedaan pendapat dalam menetapkan hukum terhadap masalah (kasus) tertentu. Ikhtilaaf atau perbedaan pendapat dikalangan Shahabat Nabi itu, tidak banyak jumlahnya, karena masalah yang terjadi pada masa itu tidak sebanyak yang timbul pada generasi berikutnya. Disamping itu, perbedaan pendapat yang terjadi dikalangan Sahabat dan Tabiin (setelah masa sahabat) serta para ulama mujtahidin tidak menyentuh masalah yang tergolong sebagai dasar-dasar agama, yaitu baik dalam hal agama yang telah diketahui tanpa perlu dalil maupun dalam hal-hal yang telah diijmakan serta ditunjukan oleh nash-nash yang qath'i. Begitu pula perbedaan yang ada di antara imam madzhab yang sangat banyak kita jumpai dalam kitab fiqih. Maka perbedaan yang terpuji ini justru merupakan bentuk rahmat dan kelapangan bagi umat manusia.

Ikhtilaf (berbeda atau berselisih) dan/atau ikhtilaaf (perbedaan atau perselisihan) pendapat ini sudah merupakan sunnah kauniyah yang telah ditakdirkan oleh Allah SWT atas makhluknya. Di dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman:
Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat (mukhtalifiina), kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya. (QS 11:118-119)

Namun, ikhtilaf dan/atau ikhtilaaf sebagai sebuah sunnah kauniyah bukan berarti kita tidak diperintahkan untuk berusaha menghindarinya. Ini sebagaimana ada pada kekufuran dan maksiat, yang tidak akan menimpa seseorang kecuali atas takdir Allah SWT. Meski demikian kita semua diperintahkan untuk menghindarinya, karena pada dua hal itu tetap saja mengandung unsur kehendak (iradah) dan pilihan manusia (ikhtiyar). Bahkan secara umum, para ulama menyatakan bahwa manusia (apalagi ummat Islam) wajib berusaha menghindari sunnah kauniyah yang bersifat buruk (seperti maksiat atau kekufuran).

Terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum Islam, di samping disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat manusiawi, juga oleh faktor lain karena adanya segi-segi khusus yang bertalian dengan agama. Faktor penyebab itu mengalami perkembangan sepanjang pertumbuhan hukum pada generasi berikutnya. Makin lama makin berkembang sepanjang sejarah hukum Islam, sehingga kadang-kadang menimbulkan pertentangan keras, utamanya di kalangan orang-orang awam. Tetapi pada masa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini, masalah khilafiyah tidak begitu dipersoalkan lagi, apabila ikhtilaf ini hanya dalam masalah furu'iyyah yang terjadi karena perbedaan dalam berijtihad.

Setiap mujtahid berusaha keras mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk menemukan hukum Allah dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah yang memerlukan penjelasan dan penegasan hukumnya. Dasar dan sumber pengambilan mereka yang pokok adalah sama, yaitu Al-Qur'an dan Hadits. Tetapi terkadang hasil temuan mereka berbeda satu sama lain dan masing-masing beramal sesuai denga hasil ijtihadnya, yang menurut dugaan kuatnya adalah benar dan tepat.

Jadi sebagai kaum Muslimim, kita harus menyadari bahwa ikhtilaf dan/atau ikhtilaaf al fuqaha ini adalah hal biasa dan bisa saja terjadi – tidak perlu dibesar-besarkan apalagi dipertentangkan sehingga terjadi perpecahan (iftiraq) antara ummat Islam sendiri. Di dalam Al-Qur'an bahkan kata ikhtilaaf dipakai untuk menjelaskan pergantian atau pertukaran antara siang dan malam, yaitu perbedaan yang bertolak belakang baik dalam kuantitas maupun kualitas. 
Sesungguhnya pada pertukaran (ikhtilaafi) malam dan siang itu dan pada apa yang diciptakan Allah di langit dan di bumi, benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi orang-orang yang bertakwa. (QS 10:6)

Catatan pinggir bahwa pergantiaan antara siang dan malam ini kalau di khalistiwa mungkin hampir sama kualitas dan kuantitasnya, yaitu sekitar 12 jam siang/terang dan 12 jam malam/gelap. Tetapi di daerah kutub Utara atau Selatan, satu hari dalam setahun perbedaan antara siang dan malam ini bisa bertolak belakang baik secara kualitas maupun kuantitas. Pada suatu hari di kutub Utama siang hari (terang) bisa terjadi 24 jam dan malamnya (gelap) tidak pernah terjadi, tetapi pada saat yang sama di kutub Selatan malam hari (gelap) terjadi selama 24 jam dan tidak ada siang hari (terang). Namum perbedaan siang dan malam ini membentuk satu kesatuan hari (24 jam). 

Jadi sebagai kaum Muslimin yang awam, dengan mengambil pelajaran dari ayat di atas, meskipun terjadi ikhtilaf dan/atau ikhtilaaf dalam masalah agama Islam yang saling tolak belakang tetapi kita harus atau masih dalam kesatuan Ummat Islam (ummat Nabi Muhammad SAW). Ikhtilaf (berbeda) dan/atau ikhtilaaf (perbedaan) syah-syah atau boleh-boleh saja tetapi jangan berpecah (iftiraq), seperti perbedaan antara siang dan malam tetapi tetap merupakan satu kesatuan hari (24 jam).

Demikian kita cukupkan sampaikan disini. Insyaa' Allah minggu depan akan kita lanjut lagi dengan pembahasan lain. Kalau ada yang salah, itu semua berasal dari saya sebagai makhluk yang tidak luput dari salah, tolong dikoreksi semua kesalahan tersebut. Saya memohon ampun kepada Allah Azza wa Jalla atas semua kesalahan dan kekhilafan dalam tulisan ini. Semua yang benar berasal dan milik Allah yang Maha Mengetahui.
Maha suci Engkau yaa Allah, dan segala puji bagi-Mu. Saya bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah. Saya mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu yaa Allah.

Semoga bermamfa'at, wallahu a'lamu bish-shawaabi.

Wassalam