Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuhu.
Alhamdulillahi Rabbi al'aalamiina. Sungguh hanya kepada Allah SWT saja kita ucapkan puji dan syukur atas segala ni'mat yang senantiasa Allah limpahkan kepada kita semua. Salawat dan salam kepada tauladan yang mulia, Nabi dan Rasulullah Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wassalam (SAW) beserta keluarga, para sahabat RA, tabi'in, tabiut tabiahum dan kepada ummat Islam sepanjang masa dimanapun berada. Semoga kita semua istiqamah menegakkan agama Islam sampai akhir hayat nanti, aamiin yaa Rabb al'aalamiin.
Insyaa Allah hari ini kita coba melanjutkan pembahasan topik yang berkaitan dengan Ikhtilaf atau perselisihan atau perbedaan pendapat. Karena topik ini sangat penting buat kita sebagai ummat Islam kebanyakan (awam) untuk tidak saling menyalahkan, menghujat bahkan mengkafirkan sehingga terjadi perpecahan di antara ummat Islam sendiri. Pada pembahasan sebelumnya sudah kita sebutkan bahwa ikhtilaf atau berselisih dan ikhtilaaf atau perselisihan pendapat adalah domain atau area atau ruang lingkup para ulama fiqih (fuqaha) – bukan ammat Islam kebanyakan (awam) - dalam rangka menetapkan suatu atau sebagian hukum islam yang bersifat furu'iyyah, bukan pada masalah hukum islam yang bersifat ushuliyyah (pokok-pokok hukum islam), disebabkan perbedaan pemahaman atau perbedaan metode dalam menetapkan hukum suatu masalah dan lain-lain.
Jadi ikhtilaf dan/atau ikhtilaaf adalah suatu hasil yang inherent (menyatu) - kalau tidak boleh dibilang suatu keniscayaan - dari proses memahami dan mengambil ketetapan hukum dari suatu case atau persoalan furu' (cabang) berdasarkan nash (Al-Qur'an dan Hadits) karena cara atau metoda atau wawasan atau kemampuan atau talenta dari para ulama fiqih berbeda-beda antara orang per orang - tidaklah sama satu sama lainnya. Makanya seringkali kita mendengar ceramah atau membaca tulisan yang terkait dengan kajian fiqih, kita dapati isinya merupakan penjabaran perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Bahkan tidak jarang disebutkan perbedaan menurut pendapat mazhab-A begini, menurut mazhab-B begitu, atau pendapat imam ini dan imam itu dan lain-lain ulama yang kompeten untuk melakukan ijtihad.
Lantas kenapa bisa terjadi berselisih atau berbeda pendapat dan/atau perselisihan atau perbedaan pendapat? Bukankah agama yang diridhai Allah cuman satu – agama Islam? Bukankah syariat Islam ini satu, yaitu syariat yang dibawa Nabi Muhammad SAW? Bukankah kebenaran Islam adalah satu (mutlaq) - tidak berbilang? Bukankah sumber wahyu Islam satu, yaitu dari Allah Azza wa Jalla? Kenapa terjadi perbedaan sehingga dalam satu masalah ada pendapat lebih dari satu; tidakah bersatu-pendapat antara madzhab akan lebih mudah buat ummat Islam kebanyakan (awam) untuk beramal dan beribadah - sehingga ummat Islam adalah umat yang satu, yaitu ummat Nabi Muhammad SAW?
Berbeda (ikhtilaf) dan/atau perbedaan (ikhtilaaf) pendapat antara madzhab fiqh dalam Islam merupakan rahmat dan kemudahan bagi umat Islam untuk memilih pendapat yang sesuai dengan situasi dan kondisi ummat Islam pada waktu dan tempat yang tepat. Khazanah atau beragamnya kekayaan syariat yang besar ini adalah kebanggaan dan keunggulan atau izzah bagi umatnya. Berbeda dan/atau perbedaan fuqaha hanya terjadi dalam masalah-masalah cabang (furu') dan ijtihad fiqh, bukan dalam masalah inti, dasar dan akidah (ushul). Seperti telah disebutkan sebelumnya dalam hadits bahwa Nabi Muhammad SAW menyebut orang yang memisahkan diri atau berpecah dari jama'ah (mayoritas) bukan ummat Nabi SAW dan Nabi SAW berlepas tangan atau bukan golongan dari ummatku (HR Syahih Muslim No. 3437, Sunan Nasa'i 4045 dan lain lain).
Jadi berbeda (ikhtilaf) pendapat atau perbedaan (ikhtilaaf) pendapat selagi tidak berpecah (iftiraq) dibolehkan dalam Islam. Bukan cuman para ulama (fuqaha) saja yang berbeda pendapat bahkan para sahabat pun juga berbeda pendapat meskipun masih ada Nabi Muhammad SAW bersama para sahabat untuk tempat bertanya dan kalau Nabi SAW tidak bisa menjawab, kadang wahyu turun untuk menengahi. Tetapi meskipun berbeda pendapat, para sahabat tidak disalahkan, tidak dimusuhi atau tidak dibilang sesat atau kafir oleh Nabi Muhammad SAW.
Sebagai mana ketahui bahwa para shahabat Nabi SAW adalah generasi terbaik, dimana status yang Allah SWT sandangkan kepada mereka tidak pernah diberikan kepada generasi yang lain, yaitu Radiyallahu 'Anhum (رَضِىَ اللهُ عَنهُم) = Allah ridha kepada mereka. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam surat At-Taubah ayat 100: Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar (QS 9:100).
Meskipun para sahabat mendapat keridhaan dari Allah SWT, tetapi tidak menjamin atau tidak menghalangi adanya perbedaan pendapat dalam memahami nash-nash syariah diantara para sahabat. Bahkan perbedaan itu bukan hanya terjadi selepas Rasulullah SAW wafat, bahkan ketika Beliau SAW masih berada di tengah-tengah mereka sendiri. Contoh yang paling sering diceritakan tentang perbedaan pendapat para sahabat ini adalah perintah shalat di perkampungan bani Quraizhah – Madinah, seperti yang terdapat dalam hadits shahih Bukhari No. 894, shahih Muslim No. 3317 dan lain-lain berikut.
Ketika kami (Sahabat RA) telah kembali dari perang Ahzab, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berseru kepada kami: Hendaklah tidak ada seorangpun yang melaksanakan shalat zhuhur kecuali jika ia telah sampai di tempat Bani Quraizhah. Lalu sebagian sahabat ada yang khawatir akan habisnya waktu shalat, sehingga mereka melaksanakannya sebelum memasuki daerah Bani Quraizhah. Sedangkan yang lainnya berkata, Kami tidak akan melaksanakan shalat kecuali pada tempat yang telah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pesankan untuk kami, meskipun waktu shalat telah habis. Abdullah berkata, Dan ternyata beliau tidak mencela salah satu dari kedua kelompok tersebut."
Kenapa Nabi Muhammad SAW tidak menyalahkan kelompok mana pun? Karena keduanya telah melakukan ijtihad dan taat kepada perintah. Hanya saja, ada perbedaan dalam memahami teks sabda Beliau SAW. Dari hadits ini, jumhur ulama berpendapat atau mengambil kesimpulan bahwa tidak ada dosa atas mereka yang sudah berijtihad, karena Rasulullah SAW tidak mencela salah satu dari dua kelompok shahabat RA tersebut. Namun demikian para ulama fiqih berbeda pendapat siapa yang berhak mendapat pahala satu (yang salah ijtihadnya) dan siapa yang mendapat pahala dua (yang benar ijtihadnya).
Berbeda pendapat tidak saja terjadi antara para ulama, para imam dan para sahabat RA. Bahkan para sahabat ada yang berbeda pendapat dengan Rasulullah SAW. Kadang-kadang Rasulullah SAW setuju atau berada bersama para sahabat di pihak yang benar pendapatnya tapi kadang sebaliknya yaitu setuju atau berada bersama para sahabat yang ternyata salah pendapatnya karena belum ada wahyu dari Allah SWT tentang masalah tersebut. Kemudian diketahui atau ditengahi setelah wahyu turun, tetapi Allah SWT sama sekali tidak menyebut Nabi SAW dan para sahabat yang salah pendapatnya dengan berdosa atau sesat. Contoh yang paling sering kita dengar adalah tentang Tawanan Perang Badar.
Ketika kaum Muslim telah menang dari perang Badar, muncul keinginan di dalam diri Rasululah SAW untuk menghentikan peperangan dan menjadikan lawan sebagai tawanan perang. Tindakan itu didasari oleh banyak pertimbangan, selain itu juga karena saat itu belum ada wahyu dari Allah SWT. Maka nabi SAW bermusyawarah dengan para shahabatnya dan diambil keputusan untuk menawan dan meminta tebusan saja. Saat itu hanya satu orang yang berbeda pendapat, yaitu Umar bin Khattab RA. Umar RA tidak sepakat untuk menghentikan perang dan meminta agar Nabi SAW meneruskan perang hingga musuh mati semua. Tidak layak kita menghentikan perang begitu saja karena mengharapkan kekayaan dan kasihan.
Tentu saja pendapat Umar RA ini tidak diterima secara musyarawah dan Rasulullah SAW serta para shahabat RA tetap pada keputusan semula, hentikan perang dan meminta tebusan. Tidak lama kemudian turun wahyu yang membuat Rasulullah SAW gemetar ketakutan, karena ayat itu justru membenarkan pendapat Umar bin Khattab RA dan menyalahkan semua pendapat yang ada. Firman Allah SWT dalam surat Al-Anfal ayat 67-69 berikut.
Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil. Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS 8:67-69).
Para mufasir menyebutkan bahwa surat Al-Anfal ayat ke-67 ini telah dinashahkan dengan turunnya wahyu Allah SWT dalam surat Muhammad ayat ke-4 berikut: Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir. Demikianlah apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah hendak menguji sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain. Dan orang-orang yang syahid pada jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka (QS 47:4).
Berbeda dan/atau perbedaan pendapat juga terjadi diantara para Nabi dan Rasul utusan Allah SWT. Meskipun para Nabi dan Rasul memiliki kedudukan yang mulia serta mendapatkan 'ishmah (penjagaan) dari Allah SWT agar tidak tercebur ke dalam dosa, namun dalam prakteknya masih dimungkinkan para Nabi dan Rasul berbeda pandangan atau pendapat dengan sesama Nabi dan Rasul, yang sama-sama menjadi utusan Allah SWT.
Nabi Musa AS dan saudaranya sendiri, yaitu Nabi Harun AS, mereka berdua pernah berselisih dan berbeda pandangan tentang masalah kaumnya menyembah berhala sapi ketika ditinggal pergi memenuhi panggilan Allah di bukit Tursina. Nabi Musa AS meninggalkan kaum Yahudi bersama Nabi Harun AS. Seperti Firman Allah SWT dalam surat Thaha ayat 92 - 94 berikut.
Berkata Musa: "Hai Harun, apa yang menghalangi kamu ketika kamu melihat mereka telah sesat, (sehingga) kamu tidak mengikuti aku? Maka apakah kamu telah (sengaja) mendurhakai perintahku?" Harun menjawab' "Hai putera ibuku, janganlah kamu pegang janggutku dan jangan (pula) kepalaku; sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku): "Kamu telah memecah antara Bani Israil dan kamu tidak memelihara amanatku" (QS 20:92-94).
Atau dalam surat Al-A'raf ayat 150 berikut: Dan tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya dengan marah dan sedih hati berkatalah dia: "Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan sesudah kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului janji Tuhanmu? Dan Musapun melemparkan luh-luh (Taurat) itu dan memegang (rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil menariknya ke arahnya, Harun berkata: "Hai anak ibuku, sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir-hampir mereka membunuhku, sebab itu janganlah kamu menjadikan musuh-musuh gembira melihatku, dan janganlah kamu masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang zalim" (QS 7:150).
Penting untuk kita garis-bawahi bahwa Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS adalah bersaudara dan sama-sama diangkat menjadi Nabi untuk kaum yang sama, yaitu kaum Yahudi. Tetapi pola pendekatan antara Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS lakukan ternyata berbeda. Perbedaan pendapat antara Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS ini sampai atau berujung kepada aksi fisik, bahkan Nabi Musa AS menarik rambut dan jenggot Nabi Harun AS. Padahal kalau dipikir-pikir, Nabi Musa AS ini amat kuat fisiknya, dan pernah meninju orang dengan sekali pukulan hingga mati. Artinya, perbedaan pendapat antara Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS malah sampai kepada keributan fisik. Tetapi keduanya (Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS) tetap berkedudukan sebagai utusan Allah SWT.
Ternyata berbeda atau berselisih pendapat tidak saja monopoli manusia mulai dari para ulama, para imam mazhab, para sahabat, para Nabi dan Rasul utusan Allah SWT, tetapi para Malaikat-pun ada yang berselisih pendapat tentang tugas yang diberikan Allah Azza wa Jalla kepada Malaikat tersebut. Malaikat yang mulia dan tanpa hawa nafsu sekalipun tetap berbeda berselisih pendapat diantara mereka. Bayangkan, bahkan para Malaikat yang tidak punya kepentingan hewani, tidak punya perasaan, tidak punya kepentingan terpendam, tetap saja ditaqdirkan Allah SWT untuk berbeda pendapat.
Di dalam hadits riwayat shahih Bukhari No. 3211, shahih Muslim No. 4967 dan lain-lain bahwa Nabi SAW telah bersabda: Pada jaman dahulu ada seorang laki-laki yang telah membunuh sembilan puluh sembilan orang. Kemudian orang tersebut mencari orang alim yang banyak ilmunya. Lalu ditunjukannya kepada seorang rahib dan ia pun langsung mendatanginya. Kepada rahib tersebut ia berterus terang bahwasanya ia telah membunuh sembilan puluh sembilan orang dan apakah taubatnya itu akan diterima? Ternyata rahib itu malahan menjawab; 'Tidak. Taubatmu tidak akan diterima.' Akhirnya laki-laki itu langsung membunuh sang rahib hingga genaplah kini seratus orang yang telah dibunuhnya.
Kemudian laki-laki itu mencari orang lain lagi yang paling banyak ilmunya. Lalu ditunjukan kepadanya seorang alim yang mempunyai ilmu yang banyak. Kepada orang alim tersebut, laki-laki itu berkata; 'Saya telah membunuh seratus orang dan apakah taubat saya akan diterima? ' Orang alim itu menjawab; 'Ya. Tidak ada penghalang antara taubatmu dan dirimu. Pergilah ke daerah ini dan itu, karena di sana banyak orang yang beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Setelah itu, beribadahlah kamu kepada Allah bersama mereka dan janganlah kamu kembali ke daerahmu, karena daerahmu itu termasuk lingkungan yang buruk.' Maka berangkatlah laki-laki itu ke daerah yang telah ditunjukan tersebut.
Di tengah perjalanan menuju ke sana laki-laki itu meninggal dunia. Lalu malaikat Rahmat dan Azab saling berbantahan. Malaikat Rahmat berkata; 'Orang laki-laki ini telah berniat pergi ke suatu wilayah untuk bertaubat dan beribadah kepada Allah dengan sepenuh hati.' Malaikat Azab membantah; 'Tetapi, bukankah ia belum berbuat baik sama sekali.' Akhirnya datanglah seorang malaikat yang berwujud manusia menemui kedua malaikat yang sedang berbantahan itu. Maka keduanya meminta keputusan kepada malaikat yang berwujud manusia dengan cara yang terbaik. Orang tersebut berkata; 'Ukurlah jarak yang terdekat dengan orang yang meninggal dunia ini dari tempat berangkatnya hingga ke tempat tujuannya. Mana yang terdekat, maka itulah keputusannya.' Ternyata dari hasil pengukuran mereka itu terbukti bahwa orang laki-laki tersebut meninggal dunia lebih dekat ke tempat tujuannya. Dengan demikian orang tersebut berada dalam genggaman malaikat Rahmat.'
Jadi bahkan Malaikat-pun berbantahan, berselisih atau berbeda pendapat. Sesuatu hal yang tidak pernah kita bayangkan bahwa Malaikat - makhluk yang selalu beridabah, senantiasa bertasbih dengan memuji dan mensucikan Allah SWT - ternyata juga bisa berselisih atau berbeda pendapat dengan sesama Malaikat.
Dari beberapa contoh yang telah kita sebutkan di atas bahwa berselisih atau berbeda pendapat itu tidak berarti haram dan dosa. Memang ada perselisihan yang diharamkan, yaitu perselisihan yang berujung kepada keluarnya salah satu pihak dari pokok atau usul akidah sehingga terjadi perpecahan. Tetapi perpebedaan pendapat yang mencari ridha Allah SWT merupakan perbedaan pendapat yang dibenarkan. Kalau berpeda pandangan atau pendapat itu haram dan dosa, seharusnya para Nabi, Rasul dan Malaikat tidak boleh berbeda pandangan. Setidaknya, Allah SWT dan Rasulullah SAW tidak perlu menceritakan kisah-kisah perselisihan mereka, seharusnya ditutup rapat saja, dihapus dari ingatan manusia sehingga ummat Islam belakangan tidak dapat mengambil pelajaran dari kisah-kisah tersebut – tetap menjadi urusan dunia ghaib.
Sebelum kita tutup, mungkin kisah tetang awal mulanya Al-Qur'an dikumpulkan berikut dapat menjadi ibrah pelajaran buat kita ummat Islam semua agar tidak sampai menyalahkan, menghujat, bahkan menyebut sesat atau kafir sesama ummat Islam sehingga tidak terjadi perpecahan ummat dan musuh-musuh Islam gembira karenanya. Semoga Allah Azza wa Jalla melapangkan dada kita (ummat Islam) untuk menerima perbedaan pendapat para ulama atau imam yang kita (ummat Islam) ikuti, janganlah kita (ummat Islam) menjadikan musuh-musuh gembira melihat ummat Islam berpecah, dan janganlah kita (ummat Islam) memasukkan sesama ummat Islam ke dalam golongan orang-orang yang zalim, sesat atau kafir, na'uudzubillah min dzaalik (kita berlindung kepada Allah terhadap bahaya atau mudharat sesuatu).
Pada tahun 12H, khalifah Abu Bakr Ash-Shiddiq RA memerintahkan Zaid bin Tsabit RA, yaitu juru tulis Nabi SAW untuk mengumpulkan Al-Qur'an dari berbagai tempat penulisan, baik yang ditulis di kulit-kulit hewan yang sudah dikeringkan (disamak), dedaunan, maupun yang dihapal dalam dada kaum Muslimin. Peristiwa ini terjadi setelah para sahabat RA yang sebagian besar juga Qurraa – penghafal Al-Qur'an banyak yang syuhada di dalam perperangan Yamamah yaitu perang melawan Musallamah Al-Kazab (nabi palsu), sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih Bukhari No. 4311, sunan Tirmidzi No. 3028 dan lain-lain berikut.
Zaid bin Tsabit RA menceritakan bahwa Abu Bakar Ash Shiddiq RA mengutus seseorang kepadaku untuk mendatangi tempat peperangan Yamamah. Ketika itu Umar RA disampingnya, ia (Abu Bakr RA) berkata bahwa Umar RA mendatangiku dan mengatakan "Sesungguhnya perang Yamamah telah berkecamuk (menimpa) para penghafal Al-Qur`an dan aku khawatir akan menimpa para penghafal al-Qur`an di negeri-negeri lainnya sehingga banyak yang gugur, menurutku engkau harus memerintahkan pengumpulan Al-Qur`an (proyek dokumentasi Al-Qur'an)". Abu Bakar RA berkata kepada Umar RA "Bagaimana aku melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam?" Umar RA berkata "Demi Allah hal itu adalah proyek yang baik sekali". Ia (Umar RA) terus mengulangi hal itu sampai Allah melapangkan dadaku sebagaimana melapangkan dada Umar RA dan aku sependapat dengannya.
Zaid RA berkata "Abu Bakar RA berkata "Sesungguhnya kamu adalah pemuda yang cerdas, kami tidak meragukanmu, dan kamu juga menulis wahyu untuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam, karena itu kumpulkanlah Al-Qur`an". Ia (Zaid RA) berkata "Demi Allah, seandainya mereka menyuruhku untuk memidahkan gunung dari gunung yang lain, itu tidak lebih berat daripada mengumpulkan Al-Qur'an, bagaimana kalian mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam?" Abu Bakar RA menjawab "Demi Allah hal itu adalah baik". Abu Bakar RA dan Umar RA terus mengulanginya, sehingga Allah melapangkan dadaku sebagaimana melapangkan dada keduanya (Abu Bakar RA dan Umar RA).
Lalu aku kumpulkan Al-Qur'an (yang ditulis) dikulit, pelepah kurma, dan batu pipih, juga dari hafalan orang, dan surat yang terakhir kudapatkan bersama Khuzaimah RA adalah ayat Baraa`ah, yang tepatnya: Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah: 'Cukuplah Allah bagiku; tidak ada ilah selain Dia. Hanya kepadaNya aku bertawakkal dan Dia adalah Rabb yang memiliki 'Arsy yang agung. (At Taubah: 128-129).
Demikian kita cukupkan sampaikan disini. Insyaa' Allah minggu depan akan kita lanjut lagi dengan pembahasan lain. Kalau ada yang salah, itu semua berasal dari saya sebagai makhluk yang tidak luput dari salah, tolong dikoreksi semua kesalahan tersebut. Saya memohon ampun kepada Allah Azza wa Jalla atas semua kesalahan dan kekhilafan dalam tulisan ini. Semua yang benar berasal dan milik Allah yang Maha Mengetahui.
Maha suci Engkau yaa Allah, dan segala puji bagi-Mu. Saya bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah (dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah). Saya mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu yaa Allah.
Semoga bermamfa'at, wallahu a'lamu bish-shawaabi.